BAB 11
PISAU DALAM GELAP
Saat mereka bersiap-siap tidur di penginapan di Bree, kegelapan menggantung
di atas Buckland; kabut mengalir di lembah dan sepanjang tepi sungai. Rumah di
Crickhollow sepi sekali. Fatty Bolger membuka pintu dengan hati-hati dan
mengintip ke luar. Suatu perasaan takut muncul dalam dirinya dan tumbuh terus
sepanjang hari, hingga ia tak bisa beristirahat atau tidur: ada ancaman yang
menggantung dalam udara malam tak berangin itu. Ketika ia memandang ke luar, ke
dalam kegelapan, sebuah bayangan hitam bergerak di bawah pepohonan; gerbang
terbuka sendiri dan tertutup lagi tanpa suara. Rasa ngeri mencekam Fatty. Ia
mundur, dan sejenak berdiri gemetaran di lorong. Lalu ia menutup pintu dan
menguncinya.
Malam semakin larut.
Terdengar pelan bunyi kuda digiring diam-diam sepanjang jalan. Di luar gerbang
mereka berhenti, dan tiga sosok masuk, seperti bayangan malam merangkak di
tanah. Satu pergi ke pintu, dua lainnya menyebar ke masing-masing sudut rumah;
di sana mereka berdiri diam seperti bayangan batu, sementara malam semakin
larut. Rumah dan pepohonan seakan-akan menunggu tanpa bernapas.
Ada gerakan samar-samar di
antara dedaunan, dan seekor ayam jantan berkokok di kejauhan. Jam-jam dingin
sebelum fajar sedang berlalu. Sosok dekat pintu bergerak. Dalam kegelapan tanpa
bulan atau bintang, sebuah pedang terhunus berkilauan, seolah sebuah cahaya
dingin telah dihunus. Ada gedoran lembut tapi berat, dan pintu bergetar.
"Buka, atas nama
Mordor!" kata sebuah suara tajam dan menancam.
Pada pukulan kedua, pintu
itu roboh dan ambruk ke dalam, papan-papannya hancur dan kuncinya patah. Sosok-sosok
hitam masuk dengan cepat.
Pada saat itu, di antara
pohon-pohon di dekat situ, sebuah terompet berbunyi nyaring, mengoyak malam
bagai api di puncak bukit.
BANGUN! AWAS! API! MUSUH! BANGUN!
Fatty Bolger tidak berdiam
diri. Begitu melihat sosok-sosok gelap merangkak di kebun, ia tahu ia harus
lari pergi dari sana, kalau tidak ia akan mati. Dan ia berlari keluar dari
pintu belakang, melintasi kebun dan melewati padang-padang. Ketika sampai di
rumah terdekat, lebih dari satu mil jauhnya, ia roboh di ambang pintunya.
"Tidak, tidak, tidak!" ia berteriak. "Jangan, jangan aku! Aku
tidak menyimpannya,!" Setelah beberapa saat, baru orang-orang memahami apa
yang dibicarakannya. Akhirnya mereka mengerti bahwa ada musuh di Buckland,
serangan aneh dari Old Forest. Lalu mereka tidak membuang-buang waktu lagi.
AWAS! API! MUSUH!
Kaum Brandybuck meniup
Terompet Isyarat dari Buckland, yang sudah seratus tahun tak pernah dibunyikan,
tidak sejak serigala-serigala putih datang di Musim Dingin Naas, ketika Sungai
Brandywine membeku.
BANGUN! BANGUN!
Dari jauh terdengar bunyi
terompet balasan. Tanda peringatan itu menyebar cepat.
Sosok-sosok hitam tersebut
lari dari rumah. Salah satu menjatuhkan jubah hobbit di atas tangga, saat ia
berlari. Di jalan terdengar bunyi derap kaki kuda, semakin kencang,
memukul-mukul lalu menghilang di kejauhan. Di seluruh Crickhollow terompet
berbunyi, suara-suara berteriak dan kaki-kaki berlari. Tapi para Penunggang
Hitam melaju bagai angin kencang ke Gerbang Utara. Biarkan orang-orang kecil
itu meniup terompet! Sauron akan membereskan mereka nanti. Sementara itu,
mereka punya tugas lain: sekarang mereka sudah tahu rumah it" kosong dan
Cincin sudah pergi. Mereka melaju melewati penjaga-penjaga di gerbang dan
menghilang dari Shire.
Di awal malam, Frodo mendadak terbangun dari tidur lelap, seolah terganggu
oleh suatu bunyi atau kehadiran. Ia melihat Strider masih duduk
waspada di kursinya: matanya mengilat dalam cahaya api yang sudah dibesarkan
dan menyala terang; tapi ia tidak memberi isyarat ataupun bergerak.
Frodo segera tertidur
lagi; tapi mimpinya kembali terganggu oleh bunyi angin dan derap kaki kuda.
Angin seolah berpusar di sekitar rumah dan mengguncangnya; dan di kejauhan ia
mendengar terompet ditiup dengan kalut. Ia membuka mata dan mendengar seekor
ayam jantan berkokok nyaring di halaman penginapan. Strider sudah menyingkap
tirai-tirai dan membuka kerai-kerai dengan bunyi berdentang. Cahaya pagi yang
kelabu memasuki ruangan itu, dan udara dingin merayap melalui jendela yang
terbuka.
Setelah membangunkan
mereka semua, Strider memimpin mereka ke kamar tidur. Ketika melihatnya, mereka
lega sudah mengikuti nasihat Strider: jendela-jendela tampak dibuka paksa dan
bergelayut lepas, tirai-tirai berkibar-kibar; ranjang-ranjang berantakan,
guling-guling tersayat dan dilempar ke lantai; keset cokelat sudah
terkoyak-koyak hancur berantakan.
Strider langsung pergi
menjemput pemilik penginapan. Mr. Butterbur yang malang kelihatan mengantuk dan
takut. Ia hampir tidak memejamkan mata sepanjang malam (begitu katanya), tapi ia
sama sekali tidak mendengar bunyi apa pun.
"Belum pernah hal
seperti ini terjadi padaku!" teriaknya sambil mengangkat tangannya penuh
kengerian. "Tamu-tamu tak bisa tidur di ranjang mereka sendiri,
guling-guling bagus hancur, dan sebagainya! Apa yang sedang terjadi pada dunia
kita ini?"
"Masa-masa
gelap," kata Strider. "Tapi untuk sementara kau masih bisa hidup
tenang, kalau kami sudah pergi. Kami akan segera berangkat. Jangan repot-repot
menyiapkan sarapan: minum dan satu kunyahan sambil berdiri sudah cukup. Kami
akan siap dalam beberapa menit."
Mr. Butterbur bergegas
pergi untuk memastikan kuda-kuda mereka sudah disiapkan, dan untuk mengambilkan
sekadar makanan. Tapi segera ia kembali dengan kaget. Kuda-kuda sudah hilang!
Pintu kandang semuanya terbuka di malam hari, dan kuda-kuda lenyap; bukan hanya
kuda-kuda Merry, tapi semua kuda dan hewan di tempat itu.
Semangat Frodo runtuh mendengar
kabar tersebut. Bagaimana mereka bisa sampai ke Rivendell dengan berjalan kaki,
dikejar musuh berkuda? Sama saja seperti hendak pergi ke Bulan. Strider duduk
diam sejenak, memandang para hobbit, seolah menimbang kekuatan dan keberanian
mereka.
"Kuda-kuda tidak akan
membantu kita melarikan diri dari pengejar
berkuda," akhirnya ia
berkata, sambil merenung, seakan-akan bisa menerka apa yang dipikirkan Frodo.
"Tidak banyak bedanya kalaupun kita berjalan kaki, apalagi di jalan yang
rencananya akan kuambil. Memang aku juga berniat jalan kaki. Yang mengganggu
pikiranku adalah makanan dan persediaannya. Kita tak bisa berharap menemukan
sesuatu untuk dimakan antara sini dan Rivendell, kecuali apa-apa yang kita
bawa; dan kita barns membawa banyak persediaan; karena mungkin saja kita
tertahan, atau terpaksa berjalan memutar, jauh dari jalan yang langsung. Berapa
banyak yang siap kalian angkut di punggung kalian?"
"Sebanyak yang
diperlukan," kata Pippin dengan semangat menurun, tapi berusaha
menunjukkan bahwa ia lebih tegar daripada kelihatannya (atau daripada yang
dirasakannya).
"Aku bisa mengangkut
cukup untuk dua orang," kata Sam dengan gagah.
"Tak adakah yang bisa
dilakukan, Mr. Butterbur?" tanya Frodo. "Bisakah kita mendapatkan
beberapa kuda di desa, atau seekor saja untuk mengangkut barang-barang? Mungkin
kita tak bisa menyewanya, tapi barangkali kita bisa membelinya,"
tambahnya, ragu, sambil bertanya-tanya dalam hati, apakah ia mampu mengeluarkan
biaya itu.
"Aku ragu," kata
pemilik penginapan itu dengan sedih. "Dua-tiga kuda yang ada di Bree juga
berkandang di halamanku, dan mereka juga lenyap. Sedangkan hewan-hewan lain,
kuda atau kuda kecil untuk muatan dan sebagainya, hanya sedikit di Bree, dan
mereka tidak dijual. Tapi aku akan berusaha sebisaku. Aku akan menyuruh Bob
berkeliling segera."
"Ya," kata
Strider enggan, "sebaiknya begitu. Setidaknya satu kuda harus kita coba
cari. Tapi harapan untuk berangkat pagi-pagi lenyap sudah, apalagi berangkat
diam-diam! Sama saja kita meniup terompet mengumumkan keberangkatan kita. Pasti
itu bagian dari rencana mereka."
"Ada satu segi
positifnya; kata Merry, "dan ini cukup menguntungkan, kuharap: kita bisa
sarapan sambil menunggu-dan duduk menikmatinya. Mari kita panggil Nob!"
Keberangkatan mereka tertunda lebih dari tiga jam. Bob kembali dengan
laporan tidak ada kuda atau kuda kecil yang bisa didapat di lingkungan itu,
biar dengan uang sekalipun—kecuali satu: Bill Ferny punya satu yang mungkin mau
ia jual. "Makhluk malang yang sudah setengah mati kelaparan," kata
Bob, "tapi dia tidak mau menjualnya kalau tidak tiga kali lipat harganya,
karena dia tahu kau sangat membutuhkannya; kalau tidak begitu, bukan Bill Ferny
namanya."
"Bill Ferny?"
tanya Frodo. "Apakah ini bukan tipuan? Jangan-jangan hewan itu lari pulang
kepadanya dengan semua barang kita, atau membantu melacak jejak kita, atau
semacamnya?"
"Mungkin juga,"
kata Strider. "Tapi aku tak bisa membayangkan hewan mana pun lari pulangkepadanya,
setelah lepas darinya. Kuduga ini hanya akal busuk Master Ferny: dia ingin
memanfaatkan situasi kita. Bahaya utama adalah bahwa hewan itu mungkin sudah
sekarat. Tapi tampaknya tak ada pilihan lain. Berapa dia minta?"
Harga yang dipasang Bill
Ferny dua belas penny perak; dan memang itu sedikitnya tiga kali lipat harga
kuda di wilayah itu. Ternyata kuda itu kurus kering, kurang makan, dan tidak
bersemangat, tapi tampaknya belum sekarat. Mr. Butterbur sendiri yang
membayarnya, dan menawarkan kepada Merry tambahan delapan belas penny untuk
ganti rugi kuda-kuda yang hilang. Ia orang jujur, dan cukup berada
menurut ukuran Bree; tapi tiga puluh penny merupakan pukulan berat untuknya,
dan disiasati Bill Ferny membuatnya terasa semakin berat.
Tapi kelak ternyata ia
beruntung juga. Belakangan ketahuan bahwa hanya satu kuda yang benar-benar
dicuri. Yang lainnya diusir, atau lari ketakutan, dan ditemukan berkeliaran di
berbagai bagian Bree yang berlainan. Kuda-kuda Merry sudah lari jauh, dan
akhirnya (karena memakai akal sehat) mereka pergi ke Downs,
mencari Fatty Lumpkin. Maka mereka dipelihara untuk sementara oleh Tom
Bombadil, dan bisa hidup senang. Tapi ketika kabar tentang kejadian di Bree
terdengar oleh Tom, ia mengirimkan mereka ke Mr. Butterbur, yang dengan
demikian mendapat lima hewan bagus dengan harga sangat lumayan. Kuda-kuda itu
memang harus bekerja lebih keras di Bree, tapi Bob memperlakukan. mereka dengan
baik; jadi, secara keseluruhan mereka beruntung: mereka lepas dari perjalanan
gelap dan berbahaya. Tapi mereka tidak pernah sampai ke Rivendell.
Namun, sementara itu, Mr.
Butterbur hanya tahu ia kehilangan uang selamanya. Dan ada kesulitan lain.
Keadaan langsung hiruk-pikuk begitu tamu-tamu lain bangun dan mendengar kabar
penyerangan ke Penginapan tersebut. Pelancong-pelancong dari selatan kehilangan
beberapa kuda dan dengan nyaring menyalahkan si pemilik penginapan, Sampai
ketahuan bahwa salah satu di antara mereka juga hilang malam itu, tak lain tak
bukan pendamping Bill Ferny yang juling. Kecurigaan langsung tertuju padanya.
"Kalau kalian bergaul
dengan maling kuda, dan membawanya ke rumahku," kata Butterbur marah,
"kalian harus bayar sendiri segala kerugian, bukannya datang meneriaki
aku! Pergi sana, tanyakan pada Bill Ferny, ke mana kawan kalian yang ganteng
itu!" Tapi ternyata orang itu bukan kawan siapa pun, dan tidak ada yang
ingat kapan ia bergabung dengan rombongan mereka.
Setelah sarapan, para
hobbit harus mengepak ulang barang-barang mereka, dan mengumpulkan persediaan
tambahan untuk perjalanan yang sekarang akan lebih panjang. Sudah mendekati jam
sepuluh ketika akhirnya mereka berangkat. Saat itu seluruh Bree sudah
berdengung penuh gairah. Pertunjukan lenyapnya Frodo; kedatangan para
Penunggang Hitam; perampokan kandang kuda; dan yang juga menarik adalah berita
bahwa Strider sang Penjaga Hutan bergabung dengan hobbit-hobbit misterius
itu-semua itu menjadi suatu kisah yang melegenda selama bertahun-tahun
kemudian. Kebanyakan penduduk Bree dan Staddle, dan bahkan banyak dari Combe
dan Archet, berkerumun di jalan untuk melihat keberangkatan para pengembara
tersebut. Tamu-tamu lain di penginapan bergerombol di pintu atau bergelantungan
dari jendela-jendela.
Strider berubah pikiran,
dan memutuskan meninggalkan Bree melalui jalan utama. Setiap usaha berjalan
langsung melintasi pedalaman justru akan memperparah keadaan: separuh penduduk
akan mengikuti mereka, untuk melihat rencana mereka, dan mencegah mereka masuk
ke tanah milik pribadi.
Mereka pamit pada Nob dan
Bob, dan kepada Mr. Butterbur dengan banyak terima kasih. "Kuharap kita
bertemu lagi suatu hari nanti, kalau keadaan sudah gembira lagi," kata
Frodo. "Aku ingin sekali tinggal di rumahmu dengan tenteram untuk beberapa
waktu."
Mereka melaju pergi, cemas
dan patah hati, di bawah tatapan kerumunan orang. Tidak semua wajah tampak ramah,
juga kata-kata yang diteriakkan.. Tapi Strider kelihatannya dihormati
kebanyakan orang Bree, dan mereka yang ditatapnya menutup mulut dan mundur.
Strider berjalan di depan dengan Frodo; berikutnya Merry dan Pippin; dan
terakhir Sam menuntun kuda, yang mengangkut bawaan sebanyak yang tega mereka
bebankan padanya; tapi kuda itu sudah tidak kelihatan terlalu sedih lagi,
seolah ia setuju dengan perubahan nasibnya. Sam menggigit sebutir apel sambil merenung. Ia membawa apel satu saku penuh: hadiah perpisahan dari Nob dan Bob.
"Apel untuk berjalan, dan pipa untuk duduk," katanya. "Tapi
kuduga tak lama lagi aku akan kehilangan keduanva."
Hobbit-hobbit itu tidak
menghiraukan kepala-kepala yang ingin tahu, yang mengintip dari balik pintu
atau menjulur di atas tembok atau pagar ketika mereka lewat. Tapi, ketika
mereka semakin dekat ke gerbang terjauh, Frodo melihat sebuah rumah gelap dan
tidak terawat di balik sebuah pagar tebal: rumah terakhir di desa. Di dalam
salah satu jendela ia menangkap sekilas wajah pucat dengan mata juling yang
lick tapi wajah itu segera menghilang.
"Jadi, di situlah
orang selatan bersembunyi!" pikirnya. "Dia mirip sekali dengan
goblin."
Dari atas pagar, seorang
pria menatap dengan berani. Ia mempunyai alis tebal dan mata
mencemooh berwarna gelap; mulutnya yang lebar terkulum mengejek. Ia mengisap pipa hitam pendek. Ketika mereka mendekat, ia mengeluarkan pipa
itu dari mulutnya dan meludah.
"Pagi,
Longshanks!" katanya. "Berangkat pagi? Dapat teman akhirnya?"
Strider mengangguk, tapi tidak menjawab.
"Pagi, kawan-kawan
kecil!" ia berkata pada yang lain. "Kuduga kalian tahu siapa yang
mendampingi kalian? Dia itu Stick-at-naught Strider! Meski aku pernah mendengar
nama lain yang tidak begitu bagus. Waspadalah nanti malam! Dan kau, Sammie,
jangan memperlakukan kudaku yang malang
dengan kasar! Pah!" ia meludah lagi.
Sam menoleh cepat.
"Dan kau, Ferny," katanya, "simpanlah wajah jelekmu itu, atau kau
akan tahu rasa." Dengan jentikan mendadak, cepat bagai kilat, sebutir apel
melayang dari tangan Sam dan tepat mengenai hidung Bill. Bill terlambat
menunduk, dan terdengar makian dari balik pagar. "Sayang apel bagus
disia-siakan," kata Sam menyesal, dan berjalan terus.
Akhirnya desa sudah tertinggal di belakang mereka. Anak-anak dan
orang-orang lain yang mengikuti mereka akhirnya jemu, dan pulang kembali
sesampainya di Gerbang Selatan. Rombongan hobbit melewati gerbang, dan
menyusuri Jalan sepanjang beberapa mil. Jalan itu menikung ke kiri, melingkar
kembali ke garisnya yang menuju timur, sambil memutari kaki Bree-hill, lalu
menurun tajam ke dalam wilayah berhutan. Di sebelah kiri, mereka bisa melihat
beberapa rumah dan lubang hobbit di Staddle, di lereng tenggara bukit yang
landai; di dasar lembah yang dalam di sebelah utara Jalan ada untaian asap
membubung yang menunjukkan letak Combe; Archet tersembunyi di dalam pepohonan
di luar sana.
Setelah Jalan menurun
untuk beberapa lama, dan Bree-hill sudah tertinggal di belakang, tinggi dan
cokelat, mereka sampai ke suatu jalan sempit yang mengarah ke Utara. "Di
sini kita meninggalkan jalan terbuka dan melalui jalan tersembunyi," kata
Strider.
"Bukan 'jalan
pintas', kuharap," kata Pippin. "Jalan pintas kan-ii yang terakhir,
yang melintasi hutan, hampir saja berakhir dengan bencana."
"Ah, tapi waktu itu
aku tidak bersama kalian," tawa Strider. "Jalan pintasku, pendek
ataupun panjang, tidak akan keliru." ia menengok ke semua sisi sepanjang
jalan. Tidak ada makhluk lain kelihatan, dan dengan cepat ia memimpin jalan
menuju lembah berhutan.
Rencana Strider, sejauh
yang mereka pahami, adalah pergi ke Archet dulu, tapi mengambil jalan ke arah
kanan dan melewatinya dari sebelah timur, lalu mengarah selurus mungkin melewati
belantara ke Bukit Weathertop. Dengan cara itu, kalau semua berjalan lancar,
mereka akan memotong lengkungan besar Jalan, yang setelah itu menikung ke
selatan untuk menghindari Rawa-Rawa Midgewater. Tapi, tentu saja, mereka harus
melintasi rawa-rawa itu sendiri, dan uraian Strider tentang rawa-rawa tersebut
tidak menggembirakan.
Sementara itu, berjalan
kaki bukannya tidak nyaman. Bahkan, seandainya tidak ada peristiwa-peristiwa
menggegerkan pada malam sebelumnya, mereka pasti akan menikmati bagian perjalanan
ini, lebih daripada yang sebelum-sebelumnya. Matahari bersinar, cerah tapi
tidak terlalu panas. Hutan di lembah masih penuh dedaunan dan berwarna-warni,
kelihatan tenteram dan segar. Strider menuntun mereka dengan yakin melewati
banyak persimpangan, yang pasti akan membuat mereka tersesat, seandainya mereka
pergi sendiri. Strider mengambil jalan berkelok-kelok dengan banyak putaran,
dan kembali ke arah semula, demi menyesatkan para pengejar.
"Pasti Bill Ferny
memperhatikan di mana kita meninggalkan Jalan," katanya, "meski
kuduga bukan dia sendiri yang menguntit kita. Dia cukup kenal pedalaman sekitar
sini, tapi dia tahu dia bukan tandinganku di dalam hutan. Yang kukhawatirkan
adalah apa yang akan diceritakannya pada yang lain. Kuduga mereka berada tidak
begitu jauh dari sini. Lebih baik kalau mereka mengira kita pergi ke
Archet."
Entah karena keahlian Strider, atau karena alasan lain, mereka tidak
melihat tanda-tanda ataupun mendengar bunyi makhluk hidup lain se panjang hari
itu: baik yang berkaki dua, kecuali burung, ataupun yang berkaki empat, kecuali
seekor rubah dan beberapa ekor bajing. Hari berikutnya mereka mulai berjalan
dengan arah tetap ke timur; semuanva masih tetap tenang dan damai. Pada hari
ketiga keluar dan Bree, mereka meninggalkan Chetwood. Tanah semakin menurun
selama itu, sejak mereka menyimpang dari Jalan, dan sekarang mereka masuk ke
suatu dataran luas yang jauh lebih sulit dilewati. Mereka sudah jauh sekali di
luar perbatasan Bree, di alam liar tanpa jalan jelas, dan sedang mendekati
Rawa-Rawa Midgewater.
Sekarang tanah menjadi
lembap, di beberapa tempat berair, dan di sana-sini mereka menjumpai genangan
air, hamparan luas alang-alang, dan rumput yang dipenuhi celoteh burung-burung
tersembunyi. Mereka harus memilih jalan dengan hati-hati, agar kaki tetap
kering dan agar tetap pada arah yang mereka tuju. Mulanya kemajuan mereka cukup
bagus, tapi semakin jauh jalan mereka semakin lambat dan berbahaya. Rawa-rawa
itu membingungkan dan berbahaya, bahkan para Penjaga Hutan pun sulit menemukan
jalan pasti di antara tanah lembut basah yang selalu berpindah-pindah.
Lalat-lalat mulai menyiksa, dan udara penuh kawanan serangga kecil yang
merangkak ke bawah lengan baju dan celana, serta ke dalam rambut mereka.
"Aku dimakan
hidup-hidup!" teriak Pippin. "Midgewater! Lebih banyak serangganya
daripada airnya!"
"Mereka hidup dari
apa kalau tidak bisa mendapat hobbit?" tanya Sam sambil menggaruk
lehernya.
Mereka menghabiskan hari
yang sengsara di pedalaman sepi dan tidak nyaman itu. Tempat mereka berkemah
lembap, dingin, dan tidak nyaman; serangga-serangga yang terus menggigiti
membuat mereka tak bisa tidur. Juga banyak makhluk mengerikan berkeliaran di
antara alang-alang dan rumput tebal; rupanya mereka saudara-saudara yang jahat
dari jangkrik, kalau menilai bunyinya. Jumlah mereka ribuan, dan mereka
berdecit terus, niik-briik, briik-niik, tanpa henti sepanjang malam, sampai
hobbit-hobbit hampir kalut.
Hari berikutnya, hari
keempat, agak lebih baik, tapi malamnya tetap tidak nyaman. Meski Neekerbreeker
(sebutan Sam untuk mereka) sudah ditinggal di belakang, serangga-serangga kecil
masih mengejar mereka.
Saat Frodo berbaring,
letih tapi tak bisa memejamkan mata, tampak seberkas cahaya di langit timur di
kejauhan: cahaya yang menyala dan menghilang berkali-kali. Bukan cahaya fajar,
karena fajar baru datang beberapa jam lagi.
"Cahaya apa
itu?" katanya pada Strider, yang bangkit dan sedang berdiri memandang ke
dalam kegelapan malam.
"Aku tidak
tahu," jawab Strider. "Terlalu jauh untuk dilihat. Seperti kilat yang
meloncat dari puncak-puncak bukit."
Frodo berbaring lagi, tapi
untuk waktu lama ia masih bisa melihat kilatan cahaya putih itu, dan di depan
cahaya itu sosok Strider yang tinggi gelap, berdiri diam dan waspada. Akhirnya
Frodo tertidur dengan gelisah.
Mereka belum berjalan jauh di hari kelima, saat mereka meninggalkan
genangan air yang bertebaran di mana-mana dan rumpun-rumpun ilalang terakhir di
rawa-rawa di belakang. Tanah di depan mulai menanjak lagi dengan teratur. Jauh
di timur, mereka bisa melihat barisan bukit. Yang tertinggi di antaranya berada
di sebelah kanan barisan, agak terpisah dari yang lain. Puncaknya berbentuk
kerucut, agak datar pada ujungnya.
"Itu
Weathertop," kata Strider. "Jalan Lama yang sudah kita tinggalkan
jauh di sebelah kanan kita, membentang ke selatannya dan lewat tidak jauh dari
kakinya. Mungkin kita bisa sampai di sana tengah
hari besok, kalau kita berjalan lurus ke sana.
Kusarankan kita melakukan itu."
"Apa maksudmu?"
tanya Frodo.
"Maksudku, kalau kita
sudah sampai di sana,
kita tidak tahu apa yang akan kita temukan. Tempat itu dekat sekali ke
Jalan."
"Tapi kan kita berharap bertemu Gandalf di sana?"
"Ya, tapi harapannya
kecil sekali. Kalau toh dia pergi ke sini, mungkin dia tidak lewat Bree,
sehingga dia tidak tahu apa yang kita, lakukan. Dan bagaimanapun, kecuali kalau
kita beruntung datang hampir bersamaan waktu, bisa saja kita tidak saling
bertemu; tidak aman bagi dia atau kita untuk menunggu lama di sana. Kalau para
Penunggang gagal menemukan kita di belantara ini, kelihatannya sangat mungkin
mereka juga akan pergi ke Weathertop. Dari atas sana, pemandangannya luas
sekali ke semua arah. Bahkan banyak sekali burung dan hewan di pedalaman yang
bisa melihat kita saat kita berdiri di sini, dari atas puncak bukit. Tidak
semua burung bisa dipercaya, dan ada mata-mata lain yang jauh lebih jahat
daripada mereka."
Para
hobbit memandang cemas ke arah bukit-bukit di kejauhan. Sam memandang ke langit
yang pucat, khawatir melihat elang atau rajawali melayang di atas mereka,
dengan mata tajam dan tidak bersahabat. "Kau benar-benar membuatku merasa
kesepian dan tidak nyaman, Strider!" kata Sam.
"Apa saranmu?"
tanya Frodo.
"Kupikir," kata
Strider perlahan, seolah tidak begitu yakin, "kurasa hal terbaik yang bisa
kita lakukan adalah sebisa mungkin berjalan lurus ke timur dari sini, ke arah
perbukitan di sana, jangan ke Weathertop. Di sana kita bisa menemukan jalan
yang kukenal, yang menyusuri kaki perbukitan; jalan itu akan membawa kita ke
Weathertop dari arah utara, dan tidak begitu kelihatan. Lalu kita bisa melihat
apa yang bisa kita lihat."
Sepanjang hari itu mereka
berjalan lambat dan susah payah, sampai senja yang dingin turun. Tanah semakin
kering dan lebih gersang; tapi kabut dan uap sudah mereka tinggalkan di rawa-rawa
di belakang. Beberapa burung sedih berbunyi nyaring dan meratap, sampai
matahari merah bulat tenggelam perlahan ke dalam bayang-bayang di sebelah
barat; lalu keheningan kosong mengelilingi mereka. Para hobbit teringat cahaya
lembut matahari terbenam yang melirik melalui jendela-jendela riang di Bag End
nun jauh di sana.
Di penghujung hari itu,
mereka sampai ke sebuah sungai yang mengembara turun dari perbukitan, dan
hilang di tengah genangan rawa-rawa. Mereka mendaki tebingnya sementara hari
masih terang. Sudah malam ketika mereka akhirnya berhenti dan bersiap-siap
berkemah di bawah beberapa pohon alder kerdil di pinggir sungai. Di depan
berdiri punggung perbukitan yang suram dan tidak berpohon, berlatar belakang
langit senja. Malam itu mereka bergantian berjaga, dan Strider tampaknya sama
sekali tidak tidur. Bulan bertambah besar, dan pada jam-jam awal malam cahaya
kelabu dingin menggantung di atas tanah.
Keesokan paginya mereka
berangkat begitu matahari terbit. Udara dipenuhi embun beku, dan langit berwarna
biru- pucat jernih. Para hobbit merasa segar,
seolah sudah tidur semalaman tanpa terputus. Mereka sudah mulai terbiasa
berjalan jauh dengan makanan terbatas—setidaknya lebih terbatas daripada yang
biasa mereka makan di Shire yang, menurut mereka, tidak akan. cukup untuk
membuat mereka kuat berdiri. Pippin menyatakan Frodo tampak dua kali lebih
besar daripada biasanya.
"Aneh sekali,"
kata Frodo sambil mengencangkan ikat pinggangnya, "mengingat justru
sekarang badanku menyusut. Kuharap proses penyusutan ini tidak berlangsung
terus-menerus, kalau tidak, bisa-bisa aku menjadi hantu!"
"Jangan membicarakan
hal-hal semacam itu!" kata Strider cepat, dengan nada serius yang agak
mengherankan.
Bukit-bukit semakin dekat, membentuk punggung berombak, sering menjulang
sampai hampir seribu kaki, dan di sana-sini terjun lagi ke celah atau bukaan
rendah yang mengantar ke negeri timur di sebelah sana. Sepanjang puncak
punggung bukit, para hobbit bisa melihat pemandangan yang tampaknya seperti
sisa-sisa tembok yang dipenuhi tanaman hijau dan tanggul-tanggul, di
celah-celahnya masih berdiri puing-puing bangunan batu lama. Di malam hari,
mereka sudah sampai di kaki lereng sebelah barat, dan di sanalah mereka
bermalam. Malam itu malam kelima bulan Oktober, dan mereka sudah enam, hari
keluar dari Bree.
Pagi harinya, untuk
pertama kali sejak meninggalkan Chetwood, mereka menemukan jejak jalan yang
jelas terlihat. Mereka membelok ke kanan dan menyusurinya ke arah selatan.
Jalur itu menjalar dengan cerdik, mengambil garis yang tampaknya dipilih agar
sedapat mungkin tersembunyi dari pandangan, baik dari atas bukit maupun dari
dataran di barat. Jalur itu terjun ke dalam lembah-lembah kecil, memeluk
tebing-tebing curam; di bagian yang melewati tanah yang lebih datar dan terbuka,
pada kedua sisinya ada barisan batu besar dan batu pahat yang menutupi
pelancong yang lewat, hampir seperti pagar.
"Aku ingin tahu,
siapa yang membuat jalan ini, dan untuk apa," kata Merry, saat mereka
menyusuri salah satu jalur tersebut, yang bebatuannya sangat besar dan rapat.
"Aku tidak menyukainya: kelihatannya agak... yah, berbau barrow-wight.
Apakah ada barrow di Weathertop?"
"Tidak. Tidak ada
barrow di Weathertop, maupun di perbukitan ini;" jawab Strider.
"Manusia dari Barat tidak hidup di sini, meski di hari-hari akhir, untuk
beberapa saat mereka mempertahankan perbukitan terhadap kejahatan yang datang
dari Angmar. Jalan ini dibuat untuk kepentingan benteng-benteng di sepanjang
tembok. Tapi jauh sebelumnya, di masa-masa awal Kerajaan Utara, mereka
membangun menara pengawasan besar di Weathertop, Amon Sul namanya. Menara itu
sudah dibakar dan hancur, dan tidak ada yang tersisa sekarang, kecuali sebuah
lingkaran yang terjungkir, seperti mahkota kasar pada kepala bukit tuanya.
Namun dulu ia pernah menjulang tinggi dan indah. Konon Elendil berdiri di sana,
memperhatikan kedatangan Gil-galad dari Barat, di masa Persekutuan
Terakhir."
Para
hobbit menatap Strider. Kelihatannya ia pakar dongeng-dongeng kuno, selain
piawai hidup di tanah liar. "Siapa Gil-galad?" tanya Merry; tapi
Strider tidak menjawab, tampaknya tenggelam dalam pikirannva sendiri. Tiba-tiba
sebuah suara rendah bergumam,
Gil-galad Raja Peri
Tentangnya para pemetik harpa bernyanyi sedih:
kerajaannya yang terakhir, indah merdeka antara
Pegunungan dan Samudra.
Panjang pedangnya, tajam tombaknya,
kemilau dari kejauhan, topi bajanya;
hamparan bintang di langit luas
di perisai peraknya terpantul jelas.
Tapi lama sudah ia pergi,
entah di mana ia tinggal kini;
dalam kegelapan bintangnya menghilang
di tanah Mordor, negeri bayang-bayang.
Yang lain menoleh penuh
keheranan, karena suara itu suara Sam.
"Jangan
berhenti!" kata Merry.
"Hanya itu yang
kutahu," kata Sam terbata-bata, wajahnya memerah. "Aku belajar itu
dari Mr. Bilbo, ketika aku masih kecil. Dia biasa menceritakan dongeng-dongeng
seperti itu, karena tahu aku suka sekali mendengarkan tentang bangsa Peri. Mr.
Bilbo yang mengajariku menulis. Dia sangat terpelajar, Mr. Bilbo yang budiman.
Dan dia suka menulis puisi. Dialah yang menulis syair itu tadi."
"Dia tidak
mengarang-ngarang," kata Strider. "Syair itu bagian dari syair
tentang Kejatuhan Gil-galad, yang tertulis dalam bahasa kuno. Pasti Bilbo
menerjemahkannya. Aku tidak tahu itu."
"Masih banyak sekali
lanjutannya," kata Sam, "semua tentang Mordor. Aku tidak belajar
bagian itu, aku menggigil kalau mendengar bagian itu. Aku tak pernah mengira
akan pergi ke sana
sendiri!"
"Pergi ke
Mordor!" teriak Pippin. "Kuharap tidak sampai terjadi!"
"Jangan sebut nama
itu keras-keras!" kata Strider.
Sudah tengah hari ketika mereka hampir mencapai ujung selatan jalan itu. Di
depan mereka, dalam cahaya pucat jernih matahari Oktober, tampak sebuah tebing
hijau-kelabu, menjulur naik seperti jembatan ke lereng utara bukit. Mereka
memutuskan langsung mendaki ke puncaknya, sementara hari masih terang
benderang. Tak mungkin lagi menyembunyikan diri, dan mereka hanya bisa berharap
tidak ada musuh atau mata-mata yang melihat. Tak kelihatan ada yang bergerak di
perbukitan. Juga tidak tampak tanda-tanda kehadiran Gandalf di sekitar situ.
Di sisi barat Weathertop,
mereka menemukan sebuah cekungan terlindung, dengan lembah berbentuk mangkuk di
dasarnya, dan pinggiran berumput. Di sana
mereka meninggalkan Sam dan Pippin dengan kuda dan muatannya, serta ransel-ransel.
Tiga yang lainnya berjalan terus. Setelah setengah jam mendaki dengan susah
payah, Strider mencapai mahkota bukit; Frodo dan Merry menyusul, lelah dan
terengah-engah. Lereng terakhir curam sekali dan berbatu-batu.
Di puncaknya, seperti
sudah dikatakan Strider, mereka menemukan sebuah lingkaran sisa bangunan batu
kuno, sekarang remuk atau tertutup rumput panjang. Tapi di tengahnya tersusun
setumpukan batu. Warnanya kehitaman, seolah kena api. Di sekitarnya tanah
kering terbakar sampai ke akarnya, dan di dalam lingkaran itu rumputnya hangus
dan mengerut, seolah nyala api telah menyapu puncak bukit itu; tapi tidak ada
tanda-tanda makhluk hidup.
Berdiri di pinggir puing
lingkaran itu, mereka melihat pemandangan luas di bawah, kebanyakan tanah
kosong tanpa ciri-ciri khusus, kecuali beberapa bercak hutan jauh di selatan,
dengan kilauan air di sana-sini di kejauhan. Di bawah mereka, pada sisi selatan
ini, Jalan Lama tergelar bagai sebuah pita, muncul dari Barat dan
melingkar-lingkar naik-turun, sampai menghilang di balik punggung tanah gelap
di sebelah timur. Tidak ada yang bergerak di atasnya. Mengikuti garisnya ke
arah timur, mereka melihat Pegunungan: kaki bukit yang lebih dekat tampak
cokelat dan suram; di belakangnya berdiri bentuk-bentuk tinggi kelabu, dan di
belakangnya lagi ada puncak-puncak tinggi putih berkilauan di antara awan-awan.
"Nah, di sinilah
kita!" kata Merry. "Sangat muram dan tidak mengundang tampaknya!
Tidak ada air dan tidak ada naungan. Dan tidak ada tanda-tanda dari Gandalf.
Tapi aku tidak menyalahkannya kalau dia tidak menunggu-kalau dia memang sudah
ke sini."
"Aku jadi
bertanya-tanya," kata Strider, menatap sekelilingnya sambil merenung.
"Meski dia sehari-dua hari di belakang kita di Bree, dia bisa datang ke
sini lebih dulu. Dia bisa menunggang kuda sangat cepat kalau perlu."
Mendadak ia berhenti dan memandang batu di atas tumpukan; lebih datar daripada
yang lain, dan lebih putih, seolah tidak terkena api. Ia memungutnya dan mengamatinya, membalikkan batu itu di tangannya.
"Batu ini belum lama dipegang,' katanya. "Bagaimana dengan
tanda-tanda ini?"
Pada permukaan bawah yang
datar, Frodo melihat beberapa goresan: I”•III. "Kelihatannya ada garis
tegak, titik, lalu tiga garis tegak lagi," kata Frodo.
"Garis tegak di
sebelah kiri mungkin lambang G dengan cabang tipis" kata Strider.
"Mungkin itu tanda yang ditinggalkan Gandalf, meski kita tak bisa yakin.
Goresannya halus, dan memang kelihatan masih baru. Tapi tanda-tanda itu bisa
juga punya arti yang lain sama sekali, dan tidak berhubungan dengan kita. Para
Penjaga Hutan juga menggunakan lambang, dan mereka sesekali juga datang ke
sini."
"Apa artinya, kalau
misalnya Gandalf yang membuatnya?" tanya Merry.
"Menurutku,"
jawab Strider, "maksudnya G 3, dan merupakan tanda bahwa Gandalf ada di
sini tanggal 3 Oktober: tiga hari yang lain. Itu juga menunjukkan dia sedang
terburu-buru dan bahaya mengancamnya, sehingga dia tak punya waktu atau tidak
berani menulis sesuatu yang lebih panjang atau lebih jelas. Kalau memang
begitu, maka kita harus hati-hati."
"Kalau saja kita bisa
yakin bahwa memang Gandalf yang membuat goresan itu, apa pun artinya,"
kata Frodo. "Akan sangat menghibur kalau tahu dia sedang dalam perjalanan,
di depan atau di belakang kita."
"Mungkin," kata
Strider. "Aku sendiri yakin dia sudah ke sini, dan berada dalam bahaya.
Pernah ada kobaran api di sini saat itu, dan aku jadi teringat cahaya yang kita
lihat tiga hari yang lalu di langit timur. Kuduga dia diserang di puncak bukit
ini, tetapi apa hasilnya aku tidak tahu. Ia sudah
tidak di sini lagi, dan sekarang kita harus menjaga diri sendiri dan pergi
sendiri ke Rivendell, sebaik mungkin."
"Berapa jauhkah
Rivendell?" tanya Merry sambil melihat sekelilingnya dengan letih. Dunia
terlihat liar dan luas dari atas Weathertop.
"Aku tidak tahu
apakah Jalan ini pernah diukur dalam mil setelah melewati Penginapan
Terlupakan, satu hari perjalanan dari Bree ke timur," jawab Strider.
"Ada yang
bilang itu jauh sekali, dan ada yang bilang sebaliknya. Jalan ini aneh, dan
orang-orang senang kalau sudah sampai di akhir perjalanan mereka, baik waktunya
panjang ataupun pendek. Tapi aku tahu berapa lama waktu untuk menempuhnya bila
aku sendiri berjalan kaki, dengan cuaca bagus dan tidak ada musibah: dua belas
hart dari sini sampai Ford Bruinen, di mana Jalan melintasi Loudwater yang
mengalir keluar dari Rivendell. Setidaknya masih ada perjalanan dua minggu di
depan kita, karena kupikir kita tidak akan bisa menggunakan Jalan."
"Dua minggu!"
kata Frodo. "Banyak yang bisa terjadi dalam waktu itu."
"Memang," kata
Strider.
Mereka berdiri diam
sejenak di puncak bukit, dekat ujung selatan. Di tempat sepi itu, Frodo untuk
pertama kali menyadari bahwa ia tak punya rumah dan berada dalam bahaya. Dengan
getir ia menyesali, kenapa ia tidak bisa tetap berada di Shire yang tenang dan
dicintainya ia menatap ke bawah, ke Jalan yang dibencinya, matanya tertuju ke
barat—ke rumahnya. Mendadak ia menyadari ada dua bercak hitam bergerak perlahan
menyusurinya, pergi ke barat; dan ketika ia memandang lagi, ia melihat tiga
bercak lain merangkak ke timur untuk menghadang mereka. Frodo berteriak dan
memegang tangan Strider.
"Lihat," katanya
sambil menunjuk ke bawah.
Strider segera menjatuhkan
diri ke tanah di belakang puing lingkaran, sambil menarik Frodo di sebelahnya.
Merry juga menjatuhkan diri di sampingnya.
"Apa itu?"
bisiknya.
"Aku tidak tahu, tapi
aku mengkhawatirkan hal terburuk," jawab Strider.
Perlahan mereka merangkak
ke pinggir lingkaran lagi, dan mengintip melalui celah antara dua batu runcing.
Cahaya sudah tidak begitu terang, karena pagi yang cerah sudah memudar, dan
awan-awan yang merangkak keluar dari Timur sudah menyusul matahari yang akan
terbenam. Mereka semua bisa melihat bercak-bercak hitam itu, tapi baik Frodo
maupun Merry tidak bisa melihat jelas bentuk mereka; namun perasaan mereka
mengatakan bahwa di sana, jauh di bawah, para Penunggang Hitam berkumpul di
Jalan di bawah kaki bukit.
"Ya," kata
Strider, yang dengan penglihatannya yang tajam tidak ragu lagi. "Musuh ada
di sini!"
Bergegas mereka merangkak
pergi, menuruni sisi utara bukit, untuk mencari kawan-kawan mereka.
Sam dan Peregrin tidak tinggal diam. Mereka sudah menjelajahi lembah kecil
dan lereng-lereng sekitamya. Tak jauh dari sana, mereka menemukan sumber mata
air jernih di sisi bukit, dan di dekatnya jejak kaki yang belum berusia lebih
dari dua hari. Di lembahnya sendiri mereka menemukan bekas api yang belum lama,
dan tanda-tanda lain dari perkemahan yang terburu-buru. Ada beberapa batuan
yang sudah jatuh di ujung lembah yang paling dekat ke bukit. Di belakangnya Sam
menemukan kayu-kayu api yang ditumpuk rapi.
"Aku ingin tahu,
apakah Gandalf sudah ke sini," katanya pada Pippin. "Siapa pun yang
menyimpan barang-barang ini di sini, berniat kembali ke sini rupanya."
Strider sangat tertarik
dengan penemuan-penemuan itu. "Coba tadi aku menunggu dan menjelajahi
sendiri tanah di bawah sini," katanya, bergegas ke mata air untuk
memeriksa jejak kaki.
"Seperti sudah
kukhawatirkan," katanya ketika ia kembali. "Sam dan Pippin menginjak
tanah lembek, dan jejaknya sudah rusak atau bercampur. Para Penjaga Hutan
datang ke sini baru-baru ini. Merekalah yang meninggalkan kayu api di tempat
ini. Tapi juga ada beberapa jejak yang lebih baru, yang bukan dibuat oleh para
Penjaga Hutan. Setidaknya satu set baru, hanya sehari-dua hari yang lalu,
dibuat oleh sepatu bot berat. Setidaknya satu. Aku belum yakin saat ini, tapi
kurasa ada banyak kaki bersepatu bot." ia berhenti bicara dan tenggelam
dalam pikiran cemas.
Masing-masing hobbit
membayangkan para Penunggang berjubah dan bersepatu bot. Kalau para Penunggang
sudah menemukan lembah itu, semakin cepat Strider menuntun mereka ke tempat
lain semakin baik. Sam memandang cekungan itu dengan rasa sangat tak suka,
setelah mendengar kabar musuh mereka ada di Jalan, hanya beberapa mil dari
sana.
"Tidakkah kita
sebaiknya cepat pergi dari sini, Mr. Strider?" tanya Sam tak sabar.
"Sudah mulai sore, dan aku tidak suka tempat ini: entah mengapa membuat
semangatku patah."
"Ya, kita memang
harus memutuskan apa yang mesti dilakukan segera," jawab Strider sambil
mendongak, mempertimbangkan waktu dan cuaca. "Yah, Sam," katanya
akhirnya, "aku juga tidak suka tempat ini, tapi aku tidak tahu tempat lain
yang lebih baik, yang bisa kita capai sebelum malam. Setidaknya kita berada di
luar pandangan untuk sementara, dan kalau kita bergerak, kita akan jauh lebih
mungkin terlihat oleh mata-mata. Yang bisa kita lakukan hanyalah menyimpang
dari jalan kita, kembali ke utara, di sisi bukit sebelah sini, yang tanahnya
sedikit-banyak sama seperti di sini. Jalan sudah diawasi, tapi kita harus
melintasinya, kalau ingin mencoba bersembunyi di semak-semak sebelah selatan.
Di sebelah utara Jalan, di seberang bukit, tanahnya kosong dan datar sepanjang
bermil-mil."
"Apakah para
Penunggang itu bisa melihat?" tanya Merry. "Maksudku, sepertinya
mereka lebih banyak menggunakan hidung daripada mata, untuk mengendus-endus
mencari kita, kalau mengendus adalah kata yang tepat untuk itu, setidaknya di
waktu terang. Tapi kau menyuruh kami tiarap ketika kau melihat mereka di bawah;
dan sekarang katamu kita bisa terlihat kalau bergerak."
"Aku terlalu ceroboh
di atas- bukit," jawab Strider. "Aku begitu bersemangat ingin mencari
tanda dari Gandalf; tapi kita salah, naik bertiga dan berdiri begitu lama di sana. Karena kuda-kuda
hitam bisa melihat, dan para Penunggang itu bisa menggunakan manusia dan
makhluk-makhluk lain sebagai mata-mata, seperti sudah terbukti di Bree. Mereka
sendiri tidak melihat dunia sebagaimana kita melihatnya, tapi bentuk-bentuk
kita melontarkan bayangan ke dalam benak mereka, yang hanya bisa dihancurkan
oleh matahari tengah hari; dan dalam gelap mereka menerima banyak tanda dan
bentuk yang tersembunyi bagi kita: saat itulah mereka perlu paling ditakuti.
Dan sepanjang waktu mereka mencium darah makhluk hidup, menginginkannya dan
membencinya. Ada
indra-indra lain selain penglihatan dan penciuman, Kita bisa merasakan
kehadiran mereka-meresahkan hati kita, begitu kita sampai di sini, dan sebelum
kita melihat mereka: mereka bisa lebih tajam lagi merasakan kehadiran kita.
Juga," tambahnya, dan suaranya menjadi bisikan, "Cincin itu menarik
mereka."
"Apakah tidak ada
cara untuk lari?" kata Frodo, melihat dengan kalut ke sekelilingnya.
"Kalau aku bergerak, aku akan kelihatan dan diburu!"
Strider meletakkan
tangannya di bahu Frodo. "Masih ada harapan," katanya. "Kau
tidak sendirian. Mari kita ambil kayu yang sudah disiapkan di sini untuk api,
sebagai suatu tanda. Hanya sedikit perlindungan atau pertahanan di sini, tapi
api bisa dimanfaatkan. Sauron bisa memakai api, dan hal-hal lainnya, untuk
maksud jahatnya, tapi para Penunggang ini tidak menyukai api, dan takut
terhadap mereka yang menggunakannya. Api adalah sahabat kita di hutan
belantara."
"Mungkin,"
gerutu Sam. "Tapi api itu juga bisa menunjukkan dengan jelas di mana kita
berada, selain kalau kita berteriak."
Di pojok paling rendah dan paling terlindung di lembah itu, mereka
menyalakan api dan menyiapkan makanan. Bayang-bayang senja mulai turun, dan
hawa mulai dingin. Tiba-tiba mereka menyadari bahwa mereka sudah lapar sekali,
karena mereka tidak makan apa pun sejak sarapan; tapi mereka hanya berani
membuat makan malam sederhana saja. Negeri di depan mereka kosong dari semua
makhluk hidup, kecuali burung dan hewan, tempat-tempat tidak ramah yang
ditinggalkan semua bangsa di dunia. Kadang-kadang para Penjaga Hutan lewat di
seberang perbukitan, tapi jumlahnya hanya sedikit dan mereka tidak bermalam.
Pengembara lain sangat langka, dan dari jenis jahat: sesekali bangsa troll
berkeliaran keluar dari lembah-lembah utara Pegunungan Berkabut. Hanya di Jalan
bisa ditemukan pelancong, paling sering orang-orang kerdil, bergegas untuk
urusan mereka sendiri, dan tidak suka memberikan pertolongan atau berbicara dengan
orang asing
"Entah apakah
persediaan makanan kita bisa mencukupi," kata Frodo. "Kita sudah
cukup hati-hati dalam beberapa hari terakhir, dan makan malam ini bukan pesta;
tapi kita sudah menghabiskan lebih banyak daripada seharusnya, kalau kita masih
harus berjalan selama dua minggu, dan mungkin lebih."
"Ada makanan di belantara," kata Strider,
"buah berry, akar-akaran, dan tanaman; dan aku punya keterampilan sebagai
pemburu bila diperlukan. Kau tidak perlu takut mati kelaparan sebelum musim
dingin tiba. Tapi mengumpulkan dan menangkap makanan adalah pekerjaan panjang
dan melelahkan, dan kita perlu buru-buru. Jadi, kencangkan ikat pinggang
kalian, dan pikirkan penuh harapan meja-meja makan di rumah Elrond!"
Hawa dingin semakin
menusuk, sementara hari semakin gelap. Mengintip keluar dari lembah, mereka
sekarang hanya bisa melihat tanah kelabu yang menghilang cepat ke dalam
bayang-bayang. Langit di alas sudah jernih lagi, dan perlahan-lahan terisi
bintang-bintang yang berkelap-kelip. Frodo dan kawan-kawannya meringkuk
mengelilingi api, terbungkus dengan segala macam busana dan selimut yang mereka
miliki; tapi Strider sudah puas dengan satu mantel, dan duduk agak menjauh,
sambil mengisap pipanya dengan termenung.
Saat malam tiba dan nyala
api mulai terang Strider menceritakan dongeng-dongeng pada mereka, untuk
mengalihkan benak mereka dari ketakutan. Ia tahu banyak riwayat dan legenda
dari zaman dulu, tentang Peri dan Manusia, perbuatan baik dan jahat di Zaman
Peri. Mereka bertanya dalam hati, berapa usia Strider, dan di mana ia belajar
semua kisah itu.
"Ceritakan tentang
Gil-galad," kata Merry tiba-tiba, ketika Strider berhenti sebentar di
akhir cerita tentang Kerajaan-Kerajaan Peri. "Apakah kau tahu lebih banyak
tentang syair kuno yang kaubicarakan tadi?"
"Memang," jawab
Strider. "Begitu juga Frodo, karena itu berhubungan erat dengan
kita." Merry dan Pippin memandang Frodo yang sedang menatap ke dalam api.
"Aku hanya tahu
sedikit yang diceritakan Gandalf padaku," kata Frodo perlahan.
"Gil-galad adalah yang terakhir dari raja-raja agung bangsa Peri di Dunia
Tengah. Gil-galad berarti sinar bintang dalam bahasa Peri. Dengan Elendil,
sahabat kaum Peri, dia pergi ke negeri..."
"Jangan!"
Strider memotong, "menurutku dongeng itu jangan diceritakan sekarang, saat
anak buah Musuh berada di dekat kita. Kalau kita berhasil mencapai rumah
Elrond, kalian bisa mendengarnya di sana,
diceritakan selengkapnya."
"Kalau begitu,
ceritakan dongeng lain dari masa lalu," pinta Sam, 'dongeng tentang bangsa
Peri sebelum masa hilangnya. Aku ingin sekali mendengar lebih banyak tentang
kaum Peri; kegelapan terasa begitu mencekam."
"Akan kuceritakan
kisah Tinuviel," kata Strider, "singkat saja, karena ini kisah
panjang yang akhirnya tidak diketahui; dan sekarang tidak ada yang ingat dengan
betul kisah ini, seperti diceritakan di masa lalu, kecuali Elrond. Suatu kisah
indah, meski sedih, seperti semua dongeng Dunia Tengah, namun mungkin kisah ini
bisa membangkitkan semangat kalian." ia diam sejenak, lalu mulai menyanyi
perlahan, bukannya berbicara,
Dedaunan panjang, rumput hijau,
Tinggi indah pepohonan cemara,
Dan di padang
tampak cahaya kemilau
Bintang-bintang berkelip di keremangan
Tinuviel menari di sana
Diiringi nada suling indah memukau,
Cahaya bintang gemerlap di rambutnya,
Pun di pakaiannya berkilauan.
Datang Beren dari pegunungan dingin nan sepi,
Di bawah dedaunan tersesat mengembara,
Menyusuri sepanjang tepi Sungai Peri
Melangkah sendiri, dicekam kepedihan.
Mengintip di antara ranting-ranting cemara
Terpesona oleh bunga-bunga emas indah tak terperi
Pada jubah dan lengan si gadis jelita,
Dan rambutnya yang terurai, sekelam bayangan.
Terpesona ia oleh pemandangan itu
Kakinya yang letih seketika pulih;
Kuat dan tangkas, ia bergegas maju,
Menggapai alur-alur sinar bulan kemilau.
Di rimba belantara hutan Peri
Tinuviel lari dengan kaki-kaki lincah berpacu,
Dan tinggallah Beren mengembara sendiri
Di belantara sepi, mendengarkan terpukau.
Sering ia dengar tapak-tapak lincah
Kaki-kaki ringan bagai tanpa suara,
Atau musik yang memancar di bawah tanah,
Tersembunyi bergetar di liang-liang.
Kini layu tergeletak berkas-berkas cemara,
Berguguran satu per satu sambil mendesah
Daun-daun beech ikut berjatuhan pula
Di hutan musim dingin melayang-layang.
Beren s’lalu mencari si gadis Peri
Di hamparan tebal daun-daun berguguran,
Di bawah cahaya bulan dan bintang yang berseri
Di angkasa dingin dan berembun beku.
Jubah Tinuviel gemerlap di bawah sinar rembulan,
Seperti di puncak bukit nan jauh dan tinggi
Ia menari, dan di kakinya bertaburan
Kabut perak yang gemetar malu-malu.
Musim dingin berlalu, Tinuviel datang lagi,
Nyanyiannya membangunkan musim semi,
Bagai hujan rintik dan burung penyanyi,
Mencairkan air yang dingin beku.
Di kakinya merekah bunga-bunga Peri
Berkembang indah dan berseri kembali
Ingin Beren menari dan bernyanyi
Di atas rumput bersamanya selalu.
Beren datang menghampiri, namun Tinuviel lari.
Tinuviel! Tinuviel!
Dipanggilnya nama si gadis Peri;
Si gadis pun berhenti, bagai tersihir
Sesaat tertegun si gadis Tinuviel
Terpikat suara Beren yang menggugah hati,
Beren mendatangi, dan luluhlah Tinicviel
Oleh pesona yang mengikatnya sampai akhir.
Kala menatap mata Tinuviel si Jelita
Yang tersembunyi bayangan rambutnya,
Tampak oleh Beren tercermin di dalamnya.
Kemilau bintang-bintang yang gemetar perlahan
Tinuviel nan cantik memesona,
Gadis Peri yang bijaksana,
Mengurai rambutnya menutupi dirinya
Dan lengan-lengannya yang gemerlap keperakan.
Nasib membawa mereka mengembara,
Lewat gunung berbatu dingin kelabu,
Lewat lorong besi dan pintu kegelapan nan menyiksa,
Dan hutan bayangan tanpa harapan.
Dipisahkan Samudra luas yang menderu,
Sebelum akhirnya kembali berjumpa,
Kini mereka t'lah lama berlalu
Bernyanyi tanpa duka, di dalam hutan.
Strider menarik napas
panjang, dan berhenti sebelum berbicara lagi. "Itu sebuah lagu,"
katanya, "di antara kaum Peri disebut anntennath, tapi sulit diterjemahkan
ke dalam Bahasa Umum, dan ini hanya gema kasar dari lagu itu. Lagu ini
menceritakan perjumpaan Beren, putra Barahir, dengan Luthien Tinuviel. Beren
manusia biasa, tapi Luthien adalah putri Thingol, raja Peri di Dunia Tengah,
ketika dunia masih muda; dia gadis tercantik yang pernah ada di antara
anak-anak dunia. Kecantikannya seperti bintang-bintang di atas kabut
negeri-negeri Utara, dan wajahnya bercahaya. Di masa itu, Musuh Besar tinggal
di Angband di Utara, dan Sauron hanyalah anak buahnya. Bangsa Peri dari Barat
kembali ke Dunia Tengah untuk berperang dengannya, demi merebut kembali
Silmaril yang telah dicurinya; nenek moyang Manusia mendukung para Peri. Tapi
Musuh menang dan Barahir tewas dibunuh. Beren, yang melarikan diri melalui
bahaya besar, pergi lewat Pegunungan Teror, masuk ke Kerajaan Thingol yang
tersembunyi di hutan Neldoreth. Di sana dia melihat Luthien menyanyi dan menari
di padang, di sisi Sungai Esgalduin yang tersihir; Beren menamainya Tinuviel,
artinya burung bulbul dalam bahasa kuno. Banyak penderitaan menimpa mereka
setelah itu, dan mereka terpisah untuk waktu lama. Tinuviel menyelamatkan Beren
dari penjara bawah tanah Sauron, dan bersama-sama mereka melewati bahaya-bahaya
besar, bahkan menjatuhkan Musuh Besar dan takhtanya, dan mengambil dan mahkota
besinya satu dari tiga Silmaril, yang paling cemerlang di antara semua berlian,
untuk maskawin Luthien kepada Thingol ayahnya. Namun pada akhirnya Beren
dibunuh Serigala yang datang dari gerbang Angband, dan dia mail di pelukan
Tinuviel. Tapi Tinuviel memilih menjadi manusia biasa, dan mati di dunia, agar
bisa menyusul Beren; dalam lagunya dikatakan bahwa mereka berjumpa lagi di
seberang Samudra Pemisah, hidup lagi bersama-sama selama suatu masa singkat di
hutan hijau, mereka mati lama berselang, meninggalkan dunia fana ini.
Begitulah, hanya Luthien Tinuviel dan bangsa Peri yang mati dan meninggalkan
dunia, dan mereka kehilangan dia yang paling mereka cintai. Tapi dari
keturunannya muncul garis silsilah bangsawan Peri masa lampau yang turun di
antara Manusia. Sampai sekarang keturunannya masih hidup, dan konon silsilahnya
tidak akan pernah berhenti. Elrond dan Rivendell termasuk sanaknya. Karena dan
Beren dan Luthien lahirlah ahli waris Dior Thingol; dan dari dia turun Elwing
the White yang dinikahi Earendil, dia yang berlayar dengan kapalnya, keluar
dari kabut dunia, masuk ke lautan surga, dengan Silmaril di dahinya. Dan dari
Earendil lahirlah Raja-raja dan Numenor, yaitu Westernesse."
Sementara Strider
berbicara, mereka memperhatikan wajahnya yang bergairah aneh, disinari cahaya
remang-remang nyala api merah. Matanya berbinar, suaranya dalam dan gagah. Di
atasnya terbentang langit gelap berbintang. Mendadak cahaya pucat muncul dari
atas mahkota Weathertop di belakang Strider. Bulan yang semakin besar mendaki
perlahan ke atas bukit yang melindungi mereka, dan bintang-bintang di atas
puncak bukit memudar.
Kisah itu berakhir. Para
hobbit bergerak dan meregangkan tubuh. "Lihat!" kata Merry.
"Bulan sudah tinggi: pasti sudah larut malam."
Yang lain juga menengadah.
Ketika itulah mereka melihat di puncak bukit sesuatu yang kecil dan gelap,
berlatar belakang kilauan bulan yang sedang naik. Mungkin juga sesuatu itu
hanya sebuah baru besar atau karang menonjol yang kena cahaya pucat.
Sam dan Merry bangkit dan
menjauh dari api. Frodo dan Pippin tetap duduk diam. Strider memperhatikan
cahaya bulan di atas bukit dengan cermat. Semua diam dan tenang, tapi Frodo
merasa ketakutan, setelah Strider tidak berbicara lagi. Ia meringkuk lebih dekat ke api. Pada saat itu Sam berlari kembali dari
pinggir lembah.
"Aku tidak tahu apa
itu," katanya, "tapi tiba-tiba aku merasa takut. Aku tidak berani
keluar dan lembah ini; aku merasa sesuatu sedang merangkak naik di
lerengnya."
"Apakah kau melihat
sesuatu?" tanya Frodo sambil melompat bangkit.
"Tidak, Sir. Aku
tidak melihat apa pun, tapi aku tidak berhenti untuk melihat."
"Aku melihat
sesuatu," kata Merry, "atau kupikir begitu di sebelah barat sana, di
mana sinar bulan jatuh ke atas dataran rendah di balik bayangan puncak bukit,
aku menyangka ada dua atau tiga sosok hitam. Kelihatannya mereka bergerak ke
arah sini."
"Tetaplah dekat ke
api, dengan wajah menghadap ke luar!" teriak Strider. "Siapkan
beberapa tongkat panjang di tangan kalian!"
Untuk waktu lama, hampir
tanpa bernapas, mereka duduk di sana, diam dan waspada, membelakangi api, masing-masing
menatap ke dalam kekelaman di sekitar. Tak ada yang terjadi. Tak ada bunyi atau
gerakan di malam itu. Frodo bergerak, merasa perlu memecah kesunyian: ia ingin
sekali berteriak keras.
"Sst!" bisik
Strider. "Apa itu?" Pippin menarik napas kaget pada saat bersamaan.
Dari atas bibir lembah
kecil itu, di sisi yang jauh dari bukit, mereka merasa sebuah bayangan muncul,
satu bayangan atau lebih dari satu. Mereka mengamati lebih tajam, dan
bayangan-bayangan itu seolah bertambah. Tak lama kemudian, tak bisa diragukan
lagi: tiga atau empat sosok tinggi gelap berdiri di lereng, memandang mereka.
Begitu hitam, hingga tampak bagaikan lubang hitam dalam keremangan di belakang.
Frodo merasa mendengar desis samar-samar, seperti napas beracun, dan ada hawa dingin
yang menusuk tajam. Lalu sosok-sosok itu perlahan-lahan mendekat.
Kengerian melanda Pippin
dan Merry, dan mereka tiarap ke tanah. Sam mengerut ke sisi Frodo. Frodo sama
ngerinya dengan kawan-kawannya; ia gemetar, seakan-akan sangat kedinginan, tapi
ketakutannya tertelan dalam suatu godaan mendadak untuk memasang Cincin-nya.
Hasrat ini mencengkeramnya, dan ia tak bisa memikirkan hal lain. Ia tidak lupa Barrow, juga tidak lupa pesan Gandalf; tapi seolah ada yang
mendorongnya untuk tidak mengacuhkan semua peringatan, dan ia sangat ingin
menyerah. Bukan karena berharap bisa melarikan diri, atau melakukan sesuatu,
baik ataupun buruk: ia hanya merasa harus mengambil Cincin itu dan memasangnya
di jarinya. Ia tak mampu berbicara. Ia merasa Sam memandangnya, seolah
tahu bahwa majikannya sedang dalam kesulitan besar, tapi Frodo tak bisa menoleh
kepadanya. Ia memejamkan mata dan berjuang untuk beberapa saat; tapi kemudian ia tak
tahan lagi. Akhirnya perlahan-lahan ia mengeluarkan rantainya, dan menyelipkan
Cincin itu di jari telunjuk tangan kirinya.
Dalam sekejap, meski semua
yang lain tetap seperti sebelumnya, remang-remang dan gelap, sosok-sosok itu
menjadi jelas sekali. Ia mampu melihat menembus selubung hitam mereka. Ada
lima sosok
tinggi: dua berdiri di bibir lembah, tiga maju mendekat. Pada wajah putih
mereka menyala mata yang tajam dan tidak kenal kasihan; di bawah mantel mereka
ada jubah kelabu panjang; di atas rambut mereka yang kelabu ada topi baja dari
perak; di tangan mereka yang kurus kering ada pedang baja. Mata mereka
menemukan dirinya dan menusuknya, saat mereka lari mendekati. Dengan nekat ia menghunus
pedangnya. Pedang itu menyala merah, seperti sebatang puntung berapi. Dua dari
sosok itu berhenti. Yang ketiga lebih tinggi daripada yang lain: rambutnya
panjang mengilat, dan di atas topi bajanya ada mahkota. Di satu tangan ia
memegang pedang panjang, dan di tangan lainnya sebilah pisau; pisau dan tangan
yang memegangnya sama-sama bersinar dengan cahaya pucat. Ia melompat maju dan menghantam Frodo.
Tepat pada saat itu Frodo
melemparkan diri ke depan, ke atas tanah, dan ia mendengar dirinya sendiri
berteriak nyaring, Oh Elbereth! Gilthoniel! Pada saat yang sama ia memukul kaki
musuhnya. Teriakan nyaring terdengar di malam kelam, dan Frodo merasa perih,
seakan-akan sebatang anak panah dari es beracun menembus pundak kirinya. Ketika
pingsan, ia menangkap sekilas-seolah melalui kabut yang berputar-putar-sosok
Strider meloncat keluar dari kegelapan dengan tongkat kayu menyala di kedua
tangannya. Dengan upaya terakhir, sambil menjatuhkan pedangnya, Frodo
melepaskan Cincin di jarinya dan menggenggamnya erat-erat dalam kepalan
tangannya.
BAB 12
PELARIAN KE FORD
Ketika Frodo sadar kembali, ia masih mencengkeram Cincin itu dengan erat. Ia berbaring dekat api, yang sekarang sudah ditumpuk tinggi dan menyala
terang sekali. Ketiga kawannya membungkuk di atasnya.
"Apa yang terjadi? Di
mana raja pucat itu?" tanya Frodo liar.
Sesaat mereka terlalu
gembira mendengar ia berbicara, sehingga tidak langsung menjawabnya; lagi pula,
mereka tidak memahami pertanyaannya. Akhirnya ia tahu dari Sam bahwa mereka
tidak melihat apa pun, kecuali bentuk-bentuk samar-samar dan gelap yang datang
ke arah mereka. Mendadak dengan ngeri Sam menyadari majikannya sudah hilang;
pada scat itu sebuah bayangan hitam berlari melewatinya, dan ia jatuh. Ia mendengar suara Frodo, tapi seakan-akan datang dari jauh sekali, atau dari
bawah tanah, meneriakkan kata-kata aneh. Mereka tidak melihat apa pun lagi,
sampai mereka tersandung tubuh Frodo yang berbaring seperti mati, wajah
tertelungkup di atas rumput, dengan pedangnya di bawahnya. Strider menyuruh
mereka mengangkatnya dan membaringkannya di dekat api, lalu ia menghilang.
Sekarang semua itu sudah cukup lama berlalu.
Sam jelas sudah mulai
meragukan Strider lagi; tapi sementara mereka berbicara, Strider kembali,
muncul tiba-tiba dari kegelapan. Mereka bergerak kaget, dan Sam menghunus
pedangnya, sambil berdiri di atas Frodo; tapi Strider dengan cepat berjongkok
di sisinya.
"Aku bukan Penunggang
Hitam, Sam," katanya lembut, " juga tidak bersekongkol dengan mereka.
Aku tadi berupaya mencari tahu tentang gerakan mereka; tapi aku tidak menemukan
apa pun. Aku tidak mengerti, mengapa mereka pergi dan tidak menyerang lagi.
Tapi sekarang tidak ada perasaan tentang kehadiran mereka di mana pun."
Setelah mendengar cerita
Frodo, Strider menjadi sangat khawatir. Ia menggelengkan kepala dan mengeluh,
lalu menyuruh Pippin dan Merry memanaskan sebanyak mungkin air yang bisa mereka
tampung dalam ceret kecil mereka, dan membasuh luka Frodo dengan itu. “Jaga
agar api tetap bagus, dan usahakan Frodo tetap hangat!" katanya. Lalu ia
bangkit dan berjalan menjauh, memanggil Sam. "Rasanya sekarang aku lebih
memahami hal ini," katanya dengan suara rendah. "Kelihatannya hanya
ada lima orang di pihak musuh. Mengapa mereka tidak semua di sini, aku tidak
tahu; tapi kurasa mereka tak menduga akan mendapat perlawanan. Mereka mundur
untuk sementara. Tapi tidak jauh. Mereka akan kembali lain kali, kalau kita tak
bisa lari. Mereka hanya menunggu, karena mengira tujuan mereka sudah hampir
tercapai, dan bahwa Cincin itu tak bisa terbang lebih jauh lagi. Aku cemas
mereka mengira majikanmu sudah mendapat luka mematikan, yang akan membuatnya
menyerah menuruti kemauan mereka. Kita lihat saja!"
Sam tercekik menahan
tangis. "Jangan putus asa!" kata Strider. "Kau harus mempercayai
aku sekarang. Frodo-mu ternyata lebih tangguh daripada yang kuduga, meski
Gandalf sudah memperkirakan hal itu. Dia tidak tewas, dan kurasa dia akan
sanggup melawan kekuatan jahat dari lukanya, lebih lama daripada yang
diharapkan musuh-musuhnya. Aku akan berusaha sebisaku untuk membantu dan
menyembuhkannya. Jagalah dia baik-baik, sementara aku pergi!" Strider
bergegas pergi dan lenyap kembali ditelan kegelapan.
Frodo tertidur sebentar, meski rasa pedih dari lukanya lambat lawn semakin
berat, dan rasa dingin yang mematikan menyebar dari pundaknya ke tangan dan
sisi tubuhnya. Kawan-kawannya menjaganya, menghangatkannya, dan membasuh
lukanya. Malam berlalu perlahan dan melelahkan. Fajar mulai merebak di langit,
dan lembah kecil itu mulai dipenuhi cahaya kelabu, ketika Strider akhirnya
kembali.
"Lihat!" teriak
Strider; sambil membungkuk ia memungut sebuah jubah hitam yang tergeletak di
tanah, tersembunyi kegelapan. Satu kaki di atas kelimannya ada sayatan.
"Ini bekas sapuan pedang Frodo," katanya. "Aku khawatir ini
satu-satunya cedera yang diderita musuh; karena dia tak bisa terluka, dan semua
mata pisau yang menusuk Raja mengerikan itu pasti hancur. Yang lebih mematikan
untuknya adalah nama Elbereth."
"Dan lebih mematikan
untuk Frodo adalah ini!" ia membungkuk lagi dan mengangkat sebuah pisau
panjang tipis. Ada
kilauan dingin di dalamnya. Saat Strider mengangkatnya di bawah cahaya yang
semakin terang, mereka memandang keheranan, karena mata pisau itu tampaknya
melebur dan lenyap seperti asap di udara, meninggalkan pangkalnya di tangan
Strider. "Aduh!" teriaknya. "Inilah pisau terkutuk yang
menimbulkan luka ini. Pada masa sekarang, hanya sedikit orang yang punya keahlian
menyembuhkan, untuk menandingi senjata jahat seperti itu. Tapi aku akan
berusaha semampuku."
Strider duduk di tanah,
mengambil pangkal pisau itu dan meletakkannya di lututnya, sambil menyanyikan
lagu lambat dalam bahasa asing. Lalu ia menyisihkan pisau itu dan berbicara
dengan nada lembut kepada Frodo, dengan kata-kata yang tak bisa ditangkap oleh
yang lain. Dari tas pinggangnya ia mengeluarkan beberapa helai daun panjang.
"Daun-daun ini,"
katanya, "sudah kucari jauh sekali; karena tanaman ini tidak tumbuh di
bukit-bukit gersang, melainkan di semak-semak jauh di selatan Jalan. Aku
menemukannya dalam kegelapan, dengan mencium bau daunnya." ia
menghancurkan satu dengan jarinya, dan daun itu mengeluarkan ban manis dan
pedas. "Untung aku bisa menemukannya, sebab inilah tanaman penyembuh yang
dibawa Manusia dari Barat ke Dunia Tengah. Mereka menamakannya athelas,
sekarang jarang tumbuh dan hanya ada di tempat-tempat mereka pernah tinggal
atau berkemah di masa lalu; daun ini tidak dikenal di Utara, kecuali oleh
beberapa pengembara di Belantara. Daun ini punya banyak manfaat bagus, tapi
untuk luka semacam ini mungkin kekuatan penyembuhannya tidak seberapa."
Ia melemparkan daun-daun
itu ke dalam air mendidih dan membasuh bahu Frodo. Wangi uapnya sangat
menyegarkan, dan mereka yang tidak terluka merasa pikiran mereka menjadi tenang
dan jernih. Tanaman itu juga berpengaruh terhadap luka Frodo, sebab Frodo
merasa kepedihan dan rasa dingin membeku di sisi tubuhnya agak berkurang; tapi
tangannya masih tetap mati rasa, dan ia tak bisa mengangkat atau
menggunakannya. Dengan getir ia menyesali kebodohannya, dan mengomeli dirinya
sendiri karena kelemahannya; sekarang ia sadar bahwa dengan memakai Cincin itu
ia bukan mengikuti hasratnya sendiri, melainkan mengikuti kemauan Musuh yang menguasainya. Ia bertanya dalam hati, apakah ia akan selamanya cacat, dan bagaimana mereka
akan berhasil meneruskan perjalanan. Ia merasa terlalu lemah untuk
berdiri.
Yang lainnya juga sedang
membahas pertanyaan tersebut. Mereka mengambil keputusan cepat untuk
meninggalkan Weathertop sesegera mungkin. "Kurasa musuh sudah mengawasi
tempat ini sejak lama,” kata Strider. "Kalau Gandalf pernah ke sini, maka
dia terpaksa menyingkir dan tidak akan kembali. Bagaimanapun, kita akan berada
dalam bahaya besar di sini setelah gelap, sejak penyerangan semalam. Kalaupun
kita pergi, hampir tak mungkin kita bertemu bahaya yang lebih besar."
Begitu hari terang, mereka
makan tergesa-gesa dan berkemas. Frodo tak mampu berjalan, maka mereka membagi
bagian terbesar bawaan mereka di antara mereka berempat, dan menempatkan Frodo
di alas kuda. Dalam beberapa hari terakhir, hewan malang itu sudah banyak mengalami kemajuan;
ia bahkan sudah kelihatan lebih gemuk dan kuat, dan mulai menunjukkan rasa
sayang kepada majikan-majikannya yang baru, terutama Sam. Pasti perlakuan Bill
Ferny kepadanya buruk sekali, sampai-sampai perjalanan di hutan malah terasa
jauh lebih baik daripada kehidupannya yang lama.
Mereka berangkat ke arah
selatan. Ini berarti harus menyeberangi Jalan, tapi itulah rute tercepat untuk
sampai ke wilayah yang lebih banyak hutannya. Dan mereka butuh makanan; karena
Strider mengatakan Frodo harus tetap hangat, terutama di malam hari, sementara
api bisa memberikan perlindungan bagi mereka semua. Strider juga berniat
memperpendek perjalanan mereka dengan memotong satu lagi lengkungan besar
Jalan; ke arah timur melewati Weathertop, jalan itu berubah haluan dan membelok
lebar ke arah utara.
Mereka berjalan perlahan dan hati-hati mengitari lereng bukit sebelah barat
daya, dan setelah beberapa saat mereka sampai ke pinggir jalan. Tak ada
tanda-tanda adanya para Penunggang. Tapi sementara bergegas menyeberangi Jalan,
mereka mendengar dua teriakan di kejauhan: sebuah suara dingin memanggil dan
suara dingin lain menjawab. Dengan gemetar mereka melompat dan berlari ke
belukar yang ada di depan. Tanah di depan mereka melandai ke selatan, tapi liar
dan tak ada jejak jalan: semak-semak dan pohon-pohon kerdil tumbuh dalam
kerumunan rapat, dengan banyak tempat kosong di antaranya. Rumput jarang
sekali, kasar dan kelabu; dan dedaunan di semak-semak sudah pudar dan rontok.
Suatu wilayah yang tidak menyenangkan. Mereka hanya berbicara sedikit, sambil
berjalan susah payah. Frodo sangat sedih ketika melihat mereka berjalan dengan
kepala tertunduk dan Punggung bungkuk dibebani bawaan. Bahkan Strider tampak
letih dan tidak bersemangat.
Sebelum perjalanan hari
pertama selesai, rasa sakit Frodo semakin bertambah, tapi ia tidak mengungkapkannya
untuk waktu lama. Empat hari berlalu, tanpa banyak perubahan pada tanah ataupun
pemandangan, kecuali bahwa di belakang mereka Weathertop tenggelam
perlahan-lahan, dan di depan mereka pegunungan di kejauhan semakin dekat. Namun
sejak bunyi teriakan tadi, mereka tidak melihat atau mendengar tanda bahwa
musuh sudah mengetahui pelarian mereka atau mengejar mereka. Mereka merasa
takut pada saat-saat gelap, dan bergantian berjaga berpasangan di malam hari,
setiap saat mengira akan melihat sosok-sosok hitam mengikuti mereka di malam
kelabu, disinari samar-samar oleh bulan yang terselubung awan; tapi mereka
tidak melihat apa pun, tidak mendengar suara kecuali desiran daun dan rumput
layu. Tak sekali pun mereka merasakan kehadiran kejahatan yang menyerang mereka
sebelum penyerbuan di lembah. Rasanya terlalu berlebihan untuk berharap bahwa
para Penunggang itu sudah kehilangan jejak mereka lagi. Mungkin mereka sedang
menunggu untuk menghadang di suatu tempat sempit?
Pada akhir hari kelima,
tanah sekali lagi mulai menanjak landai, keluar dari lembah lebar yang telah
mereka turuni. Strider sekarang memutar arah mereka ke timur laut lagi, dan
pada hari keenam mereka sampai di puncak sebuah lereng yang mendaki panjang,
dan melihat di kejauhan sekelompok bukit berhutan. Jauh di bawah mereka
terlihat Jalan menyapu melingkari kaki bukit-bukit itu; dan di sebelah kanan
mereka, sebuah sungai kelabu berkilau pucat di bawah sinar matahari yang tipis.
Di kejauhan mereka melihat sungai lain lagi, di lembah berbatu yang setengah
terselubung kabut.
"Aku khawatir kita
terpaksa kembali ke Jalan untuk beberapa waktu," kata Strider.
"Sekarang kita sudah sampai di Sungai Hoarwell, yang oleh bangsa Peri
disebut Mitheithel. Sungai ini mengalir keluar dari Ettenmoors, dataran tinggi
berbatu tempat bangsa troll di sebelah utara Rivendell, dan bergabung dengan
Loudwater di Selatan. Beberapa orang menyebutnya Greyflood setelah itu.
Sungainya besar sekali sebelum bermuara di Laut. Tak ada jalan melintasi
sumbernya di Ettenmoors, kecuali melewati Jembatan Terakhir yang dilintasi
Jalan."
"Sungai apa itu yang
jauh di sana?" tanya Merry.
"Itu Loudwater,
Bruinen dari Rivendell," jawab Strider. "Jalan menyusuri pinggiran
bukit, sepanjang beberapa mil dari Jembatan, sampai ke Ford di Bruinen. Tapi
aku belum memikirkan bagaimana kita akan menyeberangi sungai itu. Satu per satu
sajalah! Kita akan beruntung kalau tidak ada rintangan menghadang di Jembatan
Terakhir."
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, mereka turun lagi ke pinggir Jalan. Sam
dan Strider berjalan di muka, tapi tidak menemukan tanda-tanda pelancong
ataupun penunggang kuda. Di sini, di bawah bayangan pepohonan, hujan sudah
turun beberapa waktu yang lalu. Strider memperkirakan hujan itu jatuh dua hari
yang lalu, dan sudah menghilangkan semua jejak kaki. Tidak ada penunggang kuda
yang lewat, sejauh ia bisa melihat.
Mereka bergegas secepat
mungkin, dan setelah satu-dua mil mereka melihat Jembatan Terakhir di depan,
pada dasar lereng pendek yang curam. Mereka takut akan melihat sosok-sosok
hitam menunggu di sana,
tapi ternyata tidak ada satu pun. Strider menyuruh mereka bersembunyi di dalam
belukar di sisi Jalan, sementara ia main untuk menyelidiki.
Tak berapa lama kemudian,
ia bergegas kembali. "Aku tidak melihat tanda-tanda ada musuh,"
katanya, "dan aku sangat ingin tahu apa artinya itu. Tapi aku menemukan
sesuatu yang sangat aneh."
Ia mengulurkan tangannya,
dan menunjukkan sebutir permata hijau pucat. "Aku menemukannya di dalam
lumpur di tengah Jembatan," katanya. "Ini beryl, batu permata Peri.
Apakah memang diletakkan di sana,
atau jatuh tanpa sengaja, aku tidak tahu; tapi ini memberiku harapan. Aku akan
menganggapnya tanda bahwa kita boleh melewati Jembatan; tapi di luar itu aku
tidak berani tetap berjalan di Jalan, tanpa suatu tanda yang lebih jelas."
Segera mereka berjalan lagi. Mereka menyeberangi Jembatan dengan selamat,
tidak mendengar bunyi apa pun kecuali bunyi air berputar-putar menabrak ketiga
lengkungan jembatan itu. Satu mil dari sana
mereka menjumpai sebuah jurang yang menjulur ke arah utara, melewati tanah
terjal di sebelah kiri Jalan. Di sini Strider membelok, dan segera mereka
hilang di tengah negeri suram dengan pohon-pohon gelap berbelok-belok melalui
kaki perbukitan yang cemberut.
Para
hobbit senang meninggalkan negeri yang muram dan Jalan yang berbahaya di
belakang mereka; tapi negeri baru ini malah tampak mengancam dan tidak ramah.
Saat mereka maju, bukit-bukit di sekitar mereka semakin tinggi. Di sana-sini,
di atas dataran tinggi dan punggung bukit, mereka menangkap sekilas pemandangan
tembok-tembok batu kuno dan puing-puing menara: mereka tampak mengancam. Frodo,
yang tidak berjalan kaki, mempunyai waktu untuk memandang ke depan dan berpikir. Ia ingat cerita Bilbo tentang perjalanannya dan menara-menara mengancam di
perbukitan sebelah utara Jalan, di negeri dekat hutan Troll, di mana ia
mengalami petualangan seriusnya yang pertama. Frodo menduga sekarang mereka
berada di wilayah yang sama, dan ia bertanya dalam hati, apakah mungkin mereka
akan lewat di dekat tempat yang sama.
"Siapa yang tinggal
di negeri ini?" tanya Frodo. "Dan siapa yang membangun menara-menara
ini? Apakah ini negeri troll?"
"Bukan!" kata
Strider. "Troll tidak membangun. Tidak ada yang hidup di negeri ini. Manusia
pernah tinggal di sini, berabad-abad yang lalu; tapi sekarang tidak ada lagi.
Mereka menjadi bangsa jahat, menurut dongeng-dongeng, karena mereka jatuh di
bawah bayangan Angmar. Tapi semua musnah dalam perang yang membawa Kerajaan
Utara ke kehancurannya. Tapi itu sudah begitu lama berlalu, hingga bukit-bukit
pun sudah melupakan mereka, meski bayangan gelap masih menggantung di atas
negeri ini."
"Di mana kau belajar
kisah-kisah seperti itu, kalau semua negeri kosong dan pelupa?" tanya
Peregrin. "Burung-burung dan hewan tidak menceritakan kisah-kisah semacam
itu."
"Pewaris-pewaris
Elendil tidak lupa semua kejadian di masa lalu," kata Strider, "dan
banyak lagi hal yang bisa kuceritakan masih diingat di Rivendell."
"Seringkah kau ke
Rivendell?" tanya Frodo.
"Sering," kata
Strider. "Aku pernah tinggal di sana, dan
aku masih kembali ke sana
kalau bisa. Hatiku ada di sana;
tapi bukan takdirku untuk duduk diam, meski di rumah indah milik Elrond."
Sekarang mereka mulai dikurung perbukitan. Jalan di belakang mereka masih
tetap menuju Sungai Bruinen, tapi keduanya sekarang tertutup dari pandangan. Para pelancong itu masuk ke sebuah lembah panjang;
sempit, dengan belahan dalam, gelap, dan sepi. Pohon-pohon dengan akar-akar tua
dan terpelintir menggantung di atas batu karang, dan menumpuk di belakang
menjadi lereng hutan cemara yang mendaki.
Para
hobbit mulai kelelahan. Mereka maju sangat lambat, karena terpaksa memilih,
jalan melalui' pedalaman, dibebani pohon-pohon tumbang dan batu-batu yang
terguling. Selama mungkin mereka menghindari mendaki, demi Frodo, dan karena
memang sulit untuk mencari jalan naik keluar dari lembah-lembah sempit itu.
Mereka sudah dua hari berada di negeri itu ketika cuaca menjadi basah. Angin
mulai berembus terus dari Barat, mencurahkan air dari lautan jauh ke atas
kepala-kepala bukit yang gelap, dalam hujan rintik-rintik yang membuat basah
kuyup. Di malam hari mereka semua basah kuyup, dan mereka bermalam dengan
muram, karena tidak berhasil menyalakan api. Hari berikutnya perbukitan semakin
tinggi dan lebih terjal di depan mereka, dan mereka terpaksa berbalik ke utara,
keluar dari jalur arah semula. Strider rupanya mulai cemas: mereka sudah hampir
sepuluh hari keluar dari Weathertop, dan persediaan makanan sudah sangat
menipis. Hujan terus turun.
Malam itu mereka bermalam
di suatu dataran berbatu, dengan tembok batu karang di belakang, di mana ada
sebuah gua pendek, hanya semacam cekungan di dalam batu karang. Frodo resah.
Hawa dingin dan basah membuat lukanya semakin pedih, rasa sakit dan dingin yang
mematikan menghilangkan kantuk. Ia berbaring gelisah, can
mendengarkan bunyi-bunyi malam dengan perasaan takut: angin di celah-celah
pecahan batu karang, air menetes, keriutan, bunyi geletar jatuh batu yang tiba-tiba
terlepas. Ia merasa ada sosok-sosok hitam mendekat untuk mencekiknya, tapi ketika ia
bangkit duduk, ia tidak melihat apa pun kecuali punggung Strider yang duduk
meringkuk, mengisap pipanya, dan berjaga. Ia berbaring lagi dan bermimpi buruk,
di mana ia berjalan di halaman rumput kebunnya di Shire, tapi halaman itu
kelihatan kabur dan samar-samar, kurang jelas dibanding dengan
bayangan-bayangan tinggi hitam yang berdiri memandang dari atas pagar.
Di pagi hari ia terbangun, dan menyadari hujan sudah berhenti. Awan-awan
masih tebal, tapi sudah pecah, dan serpihan-serpihan biru muncul di antaranya.
Angin berubah arah lagi. Mereka tidak berangkat pagi-pagi. Segera sesudah
sarapan yang dingin dan tidak enak, Strider pergi sendirian, menyuruh yang lain
tetap di bawah perlindungan sebuah batu karang, sampai ia kembali. Ia akan mendaki, kalau bisa, dan mempelajari letak tanah.
Ketika kembali, ia tidak
membawa berita gembira. "Kita sudah terlalu jauh ke utara," katanya,
"dan kita harus menemukan cara untuk balik arah ke selatan lagi. Kalau
tetap pada arah sekarang ini, kita akan sampai di Ettendales, jauh di utara
Rivendell. Itu negeri troll, dan tidak begitu kukenal. Mungkin kita bisa
mencari jalan untuk lewat dan sampai di Rivendell dari utara; tapi itu akan
makan waktu terlalu lama, karena aku tidak tahu jalannya, dan makanan kita
tidak akan cukup. Jadi, bagaimanapun kita harus menemukan Ford Bruinen."
Sisa hari itu mereka
habiskan dengan merangkak di tanah berbatu. Mereka menemukan jalan di antara
dua bukit yang membawa mereka kt sebuah lembah yang menjulur ke tenggara, arah
yang mereka ingin ambil; tetapi, menjelang penghujung hari, jalan mereka
dihadang punggung dataran tinggi; pinggirannya yang gelap, pada latar belakang
langit, terpecah ke dalam banyak ujung, seperti gigi-gigi gergaji tumpul. Hanya
ada dua pilihan: balik arah atau mendakinya.
Mereka memutuskan mencoba
mendakinya, tapi ternyata sangat sulit. Tak lama kemudian, Frodo terpaksa turun
dari kuda dan berjuang dengan berjalan kaki. Meski begitu, mereka putus asa
menaikkan kuda mereka, atau bahkan mencari jalan untuk mereka sendiri, dengan
dibebani begitu banyak barang. Cahaya hampir hilang, dan mereka semua
kelelahan, ketika akhirnya mereka mencapai puncak. Mereka naik ke atas sebuah
pelana sempit di antara dua puncak yang lebih tinggi, dan tanah turun lagi
dengan curam, sedikit lebih jauh dari sana.
Frodo melemparkan tubuhnya ke tanah, dan berbaring menggigil di sana. Tangan kirinya
lumpuh, sisi tubuh serta pundaknya serasa dicengkeram cakar sedingin es.
Pohon-pohon dan batu-batu di sekitarnya terlihat kabur dan kelam.
"Kita tak bisa pergi
lebih jauh lagi," kata Merry pada Strider. "Aku khawatir ini sudah
terlalu berat untuk Frodo. Aku sangat cemas tentang dia. Apa yang harus kita
lakukan? Menurutmu, apakah mereka akan bisa menyembuhkannya di Rivendell, kalau
kita bisa sampai ke sana?"
"Kita lihat saja
nanti," kata Strider. "Tak ada lagi yang bisa kulakukan di belantara;
dan justru karena lukanya, aku sangat ingin terus maju. Tapi aku setuju, kita
tak bisa berjalan lebih jauh lagi malam ini."
"Apa masalahnya
dengan majikanku?" tanya Sam dengan suara rendah, memandang memohon pada
Strider. "Lukanya kecil, dan sudah tertutup. Tidak ada yang kelihatan,
kecuali bekas putih di pundaknya."
"Frodo sudah disentuh
senjata Musuh," kata Strider, "dan ada semacam racun atau kekuatan
jahat yang berada di luar kemampuanku untuk menyembuhkan. Tapi jangan putus
harapan, Sam!"
Malam di atas punggung bukit dingin sekali. Mereka menyalakan api kecil di
bawah akar-akar kasar sebatang cemara yang menggantung di atas sebuah sumur
dangkal; tampaknya seperti bekas tambang penggalian batu. Mereka duduk bersama.
Angin bertiup dingin melewati celah, dan mereka mendengar puncak-puncak
pepohonan di bawah mengerang dan mengeluh. Frodo berbaring setengah bermimpi,
membayangkan sayap-sayap gelap yang tak henti-henti terbang melayang di
atasnya, dan di atas sayap terbanglah para pengejar yang mencarinya di semua
celah bukit
Pagi merekah cerah dan
indah; udara bersih, tampak cahaya pucat dan jernih di langit yang sudah
dibasuh hujan. Semangat mereka bangkit, tapi mereka mendambakan matahari untuk
menghangatkan anggota tubuh yang kedinginan. Setelah hari terang, Strider
membawa Merry bersamanya dan pergi mempelajari tanah dari ketinggian, sampai
sebelah timur celah. Matahari sudah terbit dan sudah bersinar terang ketika ia
kembali dengan kabar yang lebih menggembirakan. Sekarang mereka sudah berjalan
kurang-lebih ke arah yang benar. Kalau mereka meneruskan perjalanan, menuruni
sisi sebelah sana
punggung bukit, Pegunungan akan berada di sebelah kiri mereka. Tak jauh di
depan, Strider sudah melihat sekilas Loudwater lagi, dan ia tahu bahwa, meski
tersembunyi dari pandangan, Jalan ke arah Ford tidak jauh dari Sungai dan
terletak pada sisi yang paling dekat dengan mereka.
"Kita harus pergi ke
Jalan lagi," kata Strider. "Kita tak bisa mengharapkan menemukan
jalan melewati bukit-bukit ini. Bahaya apa pun yang ada di sana, Jalan itu adalah satu-satunya cara kita
untuk sampai di Ford."
Selesai makan, mereka langsung berangkat. Perlahan mereka menuruni sebelah
selatan punggung bukit: tapi jalan itu jauh lebih mudah daripada yang mereka
duga, karena lerengnya tidak begitu terjal pada sisi ini, dan tak lama kemudian
Frodo bisa menunggang kuda lagi. Kuda Bill Ferny yang malang ternyata punya
bakat tak terduga untuk mencari jalan, dan untuk sebisa mungkin menghindari
penunggangnya terguncang-guncang. Semangat rombongan itu kembali meningkat.
Bahkan Frodo merasa agak baikan dalam cahaya pagi, tapi sebentar-sebentar kabut
seolah menghalangi pandangannya, dan ia menyeka matanya.
Pippin agak lebih di depan
yang lainnya. Tiba-tiba ia menoleh dan memanggil mereka. "Ada jalan di sini!" teriaknya.
Ketika mereka berdiri
sejajar dengannya, mereka melihat Pippin tidak salah: di sana dengan jelas ada
awal sebuah jalan, yang mendaki berkelok-kelok keluar dari hutan di bawah, dan
menghilang di atas puncak bukit di belakang. Di beberapa tempat ia agak kabur
dan dipenuhi tanaman, atau sesak dengan batu-batu dan pohon-pohon tumbang, tapi
tampaknya pernah ramai digunakan. Jalan itu sudah dibuat oleh tangan-tangan
kuat dan kaki berat. Di sana-sini pohon-pohon lama sudah ditebang atau
dipatahkan, dan batu-batu besar dibelah atau digulingkan ke pinggir untuk
membuka jalan.
Mereka mengikuti jalan itu
untuk beberapa saat, karena merupakan jalan termudah untuk turun, tapi mereka
berjalan hati-hati, dan kecemasan mereka semakin bertambah ketika mereka masuk
ke hutan yang gelap, dan jalan itu semakin jelas dan lebar. Mendadak jalan itu
keluar dari segerombolan pohon cemara, menurun curam di sebuah lereng, dan
membelok tajam ke kin', mengitari pojok sebuah punggung bukit berbatu. Ketika
sampai ke pojok itu, mereka melayangkan pan_ dang ke sekeliling dan melihat
bahwa jalan itu menjulur terus di tanah datar, di bawah sebuah karang rendah
yang dipenuhi pohon. Di tembok bebatuan ada sebuah pintu yang menggantung
miring terbuka pada satu engselnya.
Di luar pintu itu mereka
semua berhenti. Ada
sebuah gua atau liang batu karang di belakangnya, tapi dalam keremangan tak ada
yang terlihat. Strider, Sam, dan Merry mendorong sekuat tenaga, dan berhasil
membuka pintu lebih lebar, lalu Strider dan Merry masuk. Mereka tidak pergi
jauh, karena di lantai bertebaran banyak tulang-belulang, dan tidak ada yang
terlihat dekat pintu masuk, kecuali beberapa guci kosong dan pot-pot pecah.
"Pasti ini gua troll,
kalau itu memang ada!" kata Pippin. "Keluar, kalian berdua, dan mari
kita pergi. Sekarang kita tahu siapa yang membuat jalan ini, dan sebaiknya kita
secepatnya keluar dari sini."
"Tak perlu,
kukira," kata Strider, yang keluar dari gua. "Memang ini sebuah
lubang troll, tapi kelihatannya sudah lama ditinggalkan. Kurasa kita tak perlu
takut. Tapi kita harus turun terus dengan hati-hati, dan nanti kita lihat
saja."
Jalan itu berlanjut lagi
dan pintu, dan membelok ke kanan lagi, melintasi tanah datar, terjun menuruni
lereng yang berhutan rapat. Pippin, yang tidak mau menunjukkan pada Strider
bahwa ia masih takut, berjalan di depan dengan Merry. Sam dan Strider di
belakang mereka, mengapit kuda Frodo, karena jalan itu tidak cukup lebar untuk
empat atau lima hobbit berjalan satu baris. Mereka belum berjalan jauh ketika
Pippin datang berlari, disusul Merry. Mereka berdua tampak ketakutan.
"Ada troll!" Pippin berkata
terengah-engah. "Di bawah, di tempat terbuka di hutan, tidak jauh dari
sini. Kami melihatnya dari antara batang-batang pohon. Mereka besar sekali!"
"Kita akan pergi
melihat mereka," kata Strider sambil memungut sebuah tongkat. Frodo tidak
mengatakan apa-apa, tapi Sam kelihatan takut.
Matahari sekarang sudah tinggi, dan bersinar melalui ranting-ranting pohon
yang sudah setengah gundul, menyinari tempat terbuka itu dengan bercak-bercak
cahaya terang. Mereka berhenti tiba-tiba di pinggiran, dan mengintip melalui
batang-batang pohon, sambil menahan napas. Di sana berdiri troll-troll: tiga
troll besar. Satu membungkuk, dan dua yang lain berdiri memandangnya.
Strider berjalan maju
dengan tak acuh. "Bangun, batu kuno!" katanya, dan ia mematahkan
tongkatnya ke alas troll yang membungkuk.
Tidak terjadi apa-apa. Para hobbit terenyak kaget, lalu Frodo tertawa.
"Well!" katanya. "Rupanya kita lupa sejarah keluarga kita! Ini
pasti ketiga troll yang ditangkap Gandalf ketika mereka sedang bertengkar
tentang cara yang tepat untuk memasak tiga belas Kurcaci dan satu hobbit."
"Aku sama sekali
tidak tahu kita sudah berada di dekat tempat itu!" kata Pippin. Ia kenal betul
kisah itu. Bilbo dan Frodo sudah cukup sering menceritakannya; tapi sebenarnya
ia hanya setengah percaya. Bahkan sekarang ia memandang troll-troll dan batu
itu dengan penuh curiga, bertanya-tanya apakah karena sihir mereka
jangan-jangan hidup lagi.
"Kalian bukan hanya
lupa sejarah keluarga kalian, tapi semua yang pernah kalian ketahui tentang
troll," kata Strider. "Saat ini tengah hari, dan matahari bersinar
cerah, tapi kalian mencoba menakut-nakutiku dengan cerita ada troll hidup menunggu
kita di tempat terbuka ini! Pasti kalian sudah melihat, pada salah satu dan
mereka ada sarang burung lama di belakang telinganya. Itu perhiasan yang sangat
tidak lazim untuk troll hidup!"
Mereka semua tertawa.
Frodo merasa semangatnya bangkit lagi: ingatan akan petualangan sukses Bilbo
yang pertama sangat membesarkan hati. Matahari juga terasa hangat menghibur,
dan kabut di depan matanya tampak agak tersingkap. Mereka beristirahat sejenak
di tempat terbuka itu, dan makan siang di bawah bayangan kaki troll yang besar.
"Adakah yang mau
menyanyi untuk kita, sementara matahari masih tinggi?" kata Merry ketika
mereka selesai. "Sudah berhari-hari kita tidak mendengar lagu atau
cerita."
"Tidak sejak
Weathertop," kata Frodo. Yang lain memandangnya. Jangan khawatir tentang aku!"
tambahnya. "Aku merasa jauh lebih baik, tapi rasanya aku tak bisa
menyanyi. Mungkin Sam bisa menggali sesuatu dari ingatannya."
"Ayo, Sam!" kata
Merry. "Kau punya banyak materi di dalam kepalamu, melebihi yang
kauperlihatkan."
"Entah ya," kata
Sam. "Tapi bagaimana kalau yang ini? Ini bukan puisi betulan, kalau kau
paham: hanya sedikit omong kosong. Tap, patung-patung kuno ini mengingatkanku
pada ini." Sambil berdiri, dengan tangan di belakang punggung, seolah
berada di sekolah, ia mulai menyanyikan lagu lama.
Troll duduk sendirian di kursi batu,
Menggigit dan mengunyah tulang kaku;
Bertahun-tahun sudah menggigit tanpa lelah,
Karena daging susah didapat.
Babat! Rapat!
Troll tinggal sendirian di gua bukit batu,
Dan daging susah didapat.
Datang Tom bersepatu bot besar.
Katanya kepada Troll: "Maaf, apa yang kaukunyah itu?
Kok seperti tulang kering pamanku Tim,
Yang mestinya berbaring di kuburan.
Pelataran! Halaman!
Sudah lama pamanku mati,
Dan kukira dia di dalam kuburan."
"Anakku, " kata Troll, "tulang ini aku curi.
Tapi tulang dalam lubang tentu tak berarti.
Pamanmu sudah kaku seperti bongkah batu,
Sebelum aku menemukan tulangnya.
Tulangnya! Belulangnya!
Dia bisa kasih satu pada troll tua malang
ini,
Karena dia tidak butuh tulang keringnya."
Kata Tom, "Aku tidak paham, kenapa yang semacam kau ini
Mengambil seenaknya, tanpa permisi
Tulang kering sanak ayahku;
Tulang tua itu, kembalikan!
Pakan! Lakan!
Tulang itu miliknya, meski dia sudah mati;
Jadi tulang itu kembalikan!"
“Supaya lebih kenyang," kata Troll sambil tertawa,
"kumakan kau sekalian, berikut tulang keringmu juga.
Sedikit daging sebag bisa membuatku bugar!
Kucoba gigiku padamu sekarang.
Ha sekarang! Lihat sekarang!
Aku jemu mengunyah tulang dan kulit lama;
Aku ingin makan kau sekarang."
Mangsa sudah tertangkap, begitu dikiranya,
Ternyata hanya angin dalam, genggamannya.
Sebelum ia sadar, Tom sudah menghindar
Dengan sepatu bot menendangnya.
Tendang dia! Kemplang dia!
Pikir Tom, tendangkan sepatu bot di pantatnya,
Biar dia tahu rasa.
Tapi... aduh, kerasnya daging dan tulang troll itu,
Lebih keras daripada bukit batu.
Ditendang berkali-kali, tidak berarti sama sekali,
Pantat troll tidak merasa apa-apa.
K'rasa apa! B'rasa apa!
Mendengar Tom mengerang, Troll tua merasa sangat lucu
Kar'na ia tahu, kaki Toni sakit luar biasa.
Kaki Tom kalah, dia pun pulanglah,
Dan kakinya tanpa bot lumpuh sudah;
Tapi Troll tak peduli, dan masih duduk sendiri,
Dengan tulang yang dicuri dari pemiliknya.
Biliknya! Ciliknya!
Pantat Troll masih sama,
Dan tulang yang dicuri dari pemiliknya!
"Wah, itu peringatan
untuk kita semua!" tawa Merry. "Untung kau menggunakan tongkat, dan
bukan tanganmu, Strider!"
"Di mana kaudengar
itu, Sam?" tanya Pippin. "Aku belum pernah dengar kata-kata
itu."
Sam bergumam tidak jelas. "Itu
keluar dari kepalanya sendiri, tentu," kata Frodo. "Aku belajar
banyak tentang Sam Gamgee dalam perjalanan ini. Mula-mula dia bersekongkol,
sekarang dia melawak. Nanti dia akan menjadi tukang sihir... atau
pejuang!"
"Kuharap tidak,"
kata Sam. "Aku tidak ingin menjadi salah satu!"
Di siang hari, mereka berjalan terus ke hutan. Mungkin mereka menapak tilas
jalan yang dipakai bertahun-tahun lalu oleh Gandalf, Bilbo, dan para Kurcaci.
Setelah beberapa mil, mereka keluar di puncak tebing tinggi di atas Jalan. Pada
titik ini, Jalan sudah meninggalkan Hoarwell jauh di belakang, di lembahnya
yang sempit, dan sekarang menempel dekat ke kaki bukit, menjulur dan
berbelok-belok ke arah timur di antara pohon-pohon dan lereng tertutup tanaman
heather yang menurun ke arah Ford dan Pegunungan. Tak jauh dari tebing, Strider
menunjuk sebuah batu di tengah rumput. Di atasnya bisa terlihat lambang-lambang
rune para Kurcaci dan tanda-tanda rahasia, tergores kasar dan sudah termakan
cuaca.
"Lihat!" kata
Merry. "Itu pasti batu yang menandai tempat emas para troll disembunyikan.
Berapa sisa bagian Bilbo, Frodo?"
Frodo memandang batu itu,
dan berharap Bilbo dulu tidak membawa pulang harta yang lebih berbahaya dan
sulit dilepaskan. "Tidak ada yang tersisa," kata Frodo. "Bilbo membagi-bagikan
semuanya. Katanya dia merasa harta itu sebenamya bukan miliknya, karena datang
dari para perampok."
Jalan itu sepi di bawah bayang-bayang panjang senja yang datang lebih awal.
Tak ada tanda-tanda pelancong lain. Karena tidak ada arah -lain yang bisa
diambil, mereka menuruni tebing dan membelok ke kiri, berjalan secepat mungkin.
Dengan segera tampak sebuah punggung bukit, menghalangi cahaya matahari yang
terbenam dengan cepat. Angin dingin mengalir ke bawah, menyambut mereka dari
pegunungan di depan.
Mereka mulai mencari
tempat bermalam di luar Jalan, namun mendadak terdengar bunyi yang membuat rasa
takut kembali merayapi hati mereka: bunyi derap kaki kuda di belakang. Mereka
menoleh, tapi tak bisa melihat jauh karena Jalan itu banyak membelok dan
turun-naik. Secepat mungkin mereka merangkak keluar dari jalan dan masuk ke
semak-semak heather dan belukar berry di lereng-lereng di atas, sampai tiba di
sebuah kerumunan hazel yang tumbuh lebat. Saat mengintip ke luar dari
semak-semak, mereka bisa melihat Jalan, samar-samar dan kelabu dalam cahaya
yang sudah mulai suram, sekitar tiga puluh kaki di bawah sana. Bunyi derap kaki
kuda semakin dekat. Derap langkahnya cepat, dengan bunyi klipeti-klipeti-klip
ringan. Lalu samar-samar, seolah menjauh terembus angin, mereka mendengar
dering redup, seperti bunyi bel-bel kecil berdenting.
"Kedengarannya bukan
bunyi kuda Penunggang Hitam!" kata Frodo, mendengarkan dengan cermat.
Hobbit-hobbit yang lain juga berharap demikian, tapi mereka masih curiga.
Mereka sudah begitu lama hidup dalam ketakutan dikejar, sampai-sampai setiap
bunyi dari belakang kedengaran mengancam dan tidak ramah. Tapi sekarang Strider
mencondongkan badan ke depan, membungkuk ke tanah, dengan satu tangan di dekat
telinga, dan pandangan gembira pada wajahnya.
Cahaya memudar, dan
dedaunan di semak-semak bergemersik lembut. Bunyi bel-bel All jadi lebih jelas
dan semakin dekat, dan klipeti-klip datanglah kaki-kaki yang cepat. Tiba'-tiba
terlihat seekor kuda putih, mengilap dalam keremangan, berlari kencang. Dalam
cahaya senja, tali kekangnya mengilat dan gemerlap, seolah bertaburan permata
bintang-bintang yang hidup. Jubah penunggangnya berkibar-kibar di belakang, dan
kerudungnya terbuka; rambutnya yang keemasan mengalun kemilau dalam angin kecepatannya.
Frodo melihat seakan-akan ada cahaya putih yang bersinar dari dalam pakaian dan
sosok penunggang itu, seolah menembus selubung tipis.
Strider melompat keluar
dari persembunyian dan berlari kembali ke Jalan, melompat sambil berteriak
melintasi semak-semak heather; tapi bahkan sebelum ia bergerak atau memanggil,
penunggang itu sudah menghentikan kudanya dan berhenti, menengadah ke arah
belukar tempat mereka berdiri. Ketika melihat Strider, ia turun dari kudanya
dan berlari ke arahnya sambil berteriak, Ai na vedui Dunadan! Mae govannen!
Bahasanya dan suaranya yang berdering jernih tidak menimbulkan keraguan lagi
dalam hati mereka: penunggang itu dari bangsa Peri. Tak ada bangsa lain di
dunia yang mempunyai suara yang begitu indah didengar. Tapi tampaknya ada nada
ketergesaan atau ketakutan dalam teriakannya, dan sekarang mereka melihat ia
berbicara cepat dan mendesak kepada Strider.
Segera Strider memanggil
mereka, lalu para hobbit meninggalkan semak-semak dan bergegas turun ke Jalan.
"Ini Glorfindel, yang tinggal di rumah Elrond," kata Strider.
"Salam, dan selamat
bertemu akhirnya!" kata Pangeran Peri itu kepada Frodo. "Aku dikirim
dari Rivendell untuk mencarimu. Kami khawatir kalian dalam bahaya di
jalan."
"Kalau begitu,
Gandalf sudah sampai di Rivendell?" seru Frodo gembira.
"Belum. Dia belum
datang ketika aku berangkat, tapi itu sudah sembilan hari yang lalu,"
jawab Glorfindel. "Elrond menerima berita yang membuatnya cemas. Beberapa
dari bangsaku, yang mengembara d" negerimu di luar Baranduin (Sungai
Brandywine), mendengar bahwa ada masalah, dan segera mengirimkan pesan secepat
mungkin. Kata mereka, Kaum Sembilan sudah di luar negeri mereka sendiri, dan
bahwa kalian berkeliaran dengan membawa beban berat tanpa panduan, karena
Gandalf belum kembali. Hanya sedikit di Rivendell yang bisa melawan Kaum
Sembilan dengan terbuka; tapi yang ada, dikirim Elrond ke utara, barat, dan
selatan. Sudah diperkirakan kalian akan mengambil jalan memutar jauh demi
menghindari pengejaran, dan tersesat di belantara.
"Tugasku adalah
mengambil Jalan ini, dan aku sampai di Jembatan Mitheithel, serta meninggalkan
tanda di sana,
kira-kira hampir tujuh hari yang lalu. Tiga anak buah Sauron ada di atas
Jembatan itu, tapi mereka menarik diri dan aku mengejar mereka ke arah barat.
Aku juga bertemu dua yang lain, tapi mereka berbalik arah ke selatan. Sejak itu
aku mencari jejak kalian. Dua hari yang lalu aku menemukannya, dan mengikutinya
melintasi Jembatan; hari ini aku mengamati di mana kalian turun lagi dari
perbukitan. Tapi ayolah! Tidak ada waktu untuk berita lebih banyak. Karena
kalian ada di sini, kita harus mengambil risiko bahaya di Jalan dan pergi. Ada
lima di belakang kita, dan kalau mereka menemukan jejak kalian di Jalan, mereka
akan menyusul kita bagai angin. Dan mereka belum semuanya. Di mana empat yang
lain, aku tidak tahu. Aku khawatir Ford sudah diduduki untuk mencegat
kita."
Sementara Glorfindel
berbicara, kegelapan turun semakin dalam. Frodo merasa keletihan berat
menyergapnya. Sejak matahari mulai terbenam, kabut di depan matanya semakin
pekat, dan ia merasa ada bayang-bayang timbul di antara dirinya dan wajah
kawan-kawannya. Sekarang rasa pedih menyerangnya, dan ia merasa dingin. Ia terhuyung, dan memegang tangan Sam.
"Majikanku sakit dan
terluka," kata Sam marah. "ia tidak bisa meneruskan naik kuda setelah
malam tiba. Dia butuh istirahat."
Glorfindel menangkap Frodo
yang terkulai ke tanah, dan sambil mengangkatnya dengan lembut ke dalam
pelukannya, ia memandang wajah Frodo dengan kecemasan mendalam.
Dengan singkat Strider
menceritakan penyerangan terhadap kemah mereka di bawah Weathertop, dan tentang
pisau mematikan itu. Ia mengeluarkan pangkalnya, yang
disimpannya, dan memberikannya pada Peri itu. Glorfindel merinding saat
mengambilnya, tapi ia memperhatikannya dengan saksama.
"Banyak hal jahat
tertera di atas pangkal pisau ini," katanya "meski mungkin matamu tak
bisa melihatnya. Simpanlah, Aragorn, sampai kita tiba di rumah Elrond! Tapi
hati-hatilah, dan peganglah sesedikit mungkin! Aduh! Luka-luka akibat senjata
ini ada di luar kemampuanku untuk menyembuhkan. Aku akan melakukan sebisaku,
tapi kuminta kalian berjalan terus tanpa istirahat."
Ia menelusuri luka pada
pundak Frodo dengan jemarinya, dan wajahnya semakin muram, seolah apa yang
ditemukannya membuatnya resah. Tetapi rasa dingin di sisi tubuh dan lengan
Frodo mulai berkurang; sedikit kehangatan merangkak turun dari pundak ke
tangannya, dan rasa pedih itu jadi lebih ringan. Cahaya senja di sekitarnya
seakan jadi agak terang, seolah sebuah awan sudah ditarik. Ia bisa melihat wajah kawan-kawannya lebih jelas, dan sedikit harapan baru
serta kekuatan kembali kepadanya.
"Kau menunggang
kudaku," kata Glorfindel. "Aku akan memendekkan sanggurdi sampai ke
pinggir pelana, dan kau harus duduk sediam mungkin. Tapi kau tak perlu takut:
kudaku tidak akan menjatuhkan penunggang yang kusuruh dibawanya. Langkahnya
ringan dan lancar; dan kalau bahaya terlalu dekat, dia akan membawamu dengan
kecepatan yang tak bisa ditandingi kuda-kuda hitam musuh."
"Tidak, tidak
akan!" kata Frodo. "Aku tidak akan menunggangnya, kalau aku akan
dibawa ke Rivendell atau ke tempat lain, meninggalkan teman-temanku dalam
bahaya."
Glorfindel tersenyum. Katanya,
"Menurutku teman-temanmu tidak akan berada dalam bahaya bila kau tidak
bersama mereka! Kurasa para pengejar itu akan mengikutimu dan meninggalkan kami
dengan tenteram. Kaulah sasaran mereka, Frodo. Kau dan apa yang kaubawa itu
yang membawa kita semua ke dalam bahaya."
Frodo tak bisa menjawab, dan ia bisa dibujuk untuk menaiki kuda putih
Glorfindel. Kuda mereka dibebani sebagian besar bawaan lain, agar mereka bisa
berjalan lebih ringan. Untuk sementara mereka maju dengan kecepatan tinggi,
tapi para hobbit mulai kesulitan menyamai kecepatan langkah kaki Peri yang tak
pernah letih. Ia terus memacu mereka, masuk ke mulut kegelapan, dan masih terus dalam malam
gelap berawan. Tak ada bintang maupun bulan. Baru saat fajar kelabu ia
membolehkan mereka berhenti. Pippin, Merry, dan Sam saat itu sudah hampir
tertidur sambil berdiri terhuyung-huyung; bahkan Strider tampak letih, terlihat
dari pundaknya yang menggantung. Frodo duduk di atas kuda sambil bermimpi
gelap.
Mereka membaringkan diri
di dalam semak-semak heather beberapa Meter dari sisi jalan dan langsung
tertidur Rasanya mereka baru saja memejamkan mata ketika Glorfindel, yang
berjaga sendirian sementara mereka tidur, membangunkan mereka lagi. Matahari
sudah tinggi di langit pagi itu, dan awan-awan serta kabut malam sebelumnya
sudah sirna.
"Minumlah ini!"
kata Glorfindel pada mereka, menuangkan untuk masing-masing sedikit minuman
manis dari botol kulitnya yang bertatahkan perak. Cairannya jernih seperti air
dari mata air, dan tidak ada rasanya, juga tidak terasa dingin ataupun panas di
dalam mulut; tapi kekuatan dan semangat mengalir ke seluruh tubuh mereka saat
meminumnya. Setelah itu, makan roti basi dan buah-buah kering (sekarang itu
saja yang tersisa) bisa memuaskan rasa lapar mereka melebihi banyak sarapan
enak yang pernah mereka nikmati di Shire.
Setelah beristirahat hampir lima jam, mereka masuk ke Jalan lagi.
Glorfindel masih mendesak mereka berjalan terus, dan hanya mengizinkan dua
perhentian singkat selama perjalanan hari itu. Dengan cara ini, mereka menempuh
hampir dua puluh mil sebelum malam, dan sampai ke suatu titik di mana Jalan
membelok ke kanan dan menurun menuju dasar lembah, yang sekarang langsung
menuju Bruinen. Sejauh itu tidak ada tanda atau bunyi pengejaran yang bisa
didengar para hobbit; tapi Glorfindel sering berhenti untuk mendengarkan
sejenak, kalau mereka tertinggal di belakang; wajahnya mencerminkan kecemasan.
Satu-dua kali ia berbicara dengan Strider dalam bahasa Peri.
Tapi, meski pemandu-pemandu
mereka sangat cemas, jelas sekali bahwa para hobbit tak bisa meneruskan
perjalanan lagi malam itu. Mereka berjalan terhuyung-huyung, pusing karena
letih dan tak bisa memikirkan hal lain kecuali kaki dan tungkai mereka. Rasa
sakit Frodo semakin menjadi-jadi, dan sepanjang hari itu benda-benda di
sekitarnya terlihat kabur, sampai seperti bayangan kelabu. Ia hampir gembira menyambut malam hari, karena saat itu dunia jadi tidak
terlalu pucat dan kosong.
Para hobbit masih letih ketika mereka berangkat lagi pagi-pagi keesokan
harinya. Masih bermil-mil jarak antara mereka dan Ford, dan mereka berjalan
terpincang-pincang dengan kecepatan terbaik yang bisa mereka upayakan.
"Bahaya paling besar
yang mengancam kita adalah sebelum kita sampai di sungai," kata
Glorfindel. "Hatiku memperingatkan bahwa pengejaran sudah sangat dekat di
belakang kita, dan bahaya lain mungkin menunggu di Ford."
Jalan itu masih menurun
terus dari bukit. dan sekarang di beberapa tempat ada banyak rumput di kedua
sisinya; di situlah para hobbit berjalan bila mungkin, untuk meredakan
kelelahan kaki mereka. Siang itu mereka tiba di bagian Jalan yang dinaungi
bayang-bayang gelap pohon-pohon cemara tinggi, lalu terjun ke dalam sebuah
terowongan dalam, dengan dinding-dinding curam dari batu merah yang basah.
Langkah mereka menimbulkan gema yang terus terdengar sementara mereka bergegas
maju; serasa ada banyak langkah kaki yang mengikuti. Tiba-tiba, seolah melewati
gerbang cahaya, Jalan itu keluar lagi dari ujung terowongan ke udara terbuka.
Di sana, di dasar sebuah lereng terjal, di depan mereka terhampar tanah datar
sepanjang satu mil; dan di seberangnya Ford dari Rivendell. Di sisi seberang
ada tebing terjal kecokelatan, dilintasi jalan berkelok-kelok; dan di belakangnya
gunung-gunung tinggi menjulang, pundak demi pundak, dan puncak demi puncak, ke
langit yang memudar.
Masih ada bunyi gema
seperti langkah kaki yang mengejar di terowongan di belakang mereka; bunyi
berdesir seolah angin yang muncul dan mengalir melalui ranting-ranting pohon
cemara. Suatu saat Glorfindel menoleh dan mendengarkan, lalu ia melompat ke
depan dengan teriakan keras.
"Cepat!"
teriaknya. "Cepat! Musuh sudah dekat!"
Kuda putih melompat maju.
Para hobbit berlari menuruni lereng. Glorfindel dan Strider menyusul sebagai
penjaga garis belakang. Mereka baru separuh jalan melintasi tanah datar, ketika
tiba-tiba ada bunyi kuda lari berderap. Keluar dari gerbang yang baru saja
mereka tinggalkan, muncul seorang Penunggang Hitam. Ia menahan kudanya dan berhenti,
bergoyang di pelananya. Satu lagi mengikutinya, lalu yang lain lagi, dan dua
lagi.
"Jalan maju!
Jalan?" teriak Glorfindel pada Frodo.
Frodo tidak langsung
menuruti perintahnya, karena keengganan yang aneh timbul dalam dirinya. Menahan
kudanya agar berjalan perlahan, ia menoleh ke belakang. Penunggang-Penunggang
Hitam tampak duduk di atas kuda-kuda mereka yang besar, bagai patung-patung
yang mengancam di atas bukit yang gelap dan kokoh, sementara semua hutan dan
tanah di sekitar mereka seolah tertelan kabut. Tiba-tiba dalam hati Frodo tahu
bahwa mereka diam-diam memerintahkannya menunggu. Dalam sekejap ketakutan dan
kebencian bangkit dalam dirinya. Tangan kirinya melepaskan tali kekang dan
memegang Pangkal pedangnya, dan dengan satu kilatan merah ia menghunusnya.
"Jalan terus! Jalan
terus!" teriak Glorfindel, lalu dengan nyaring dan jelas ia memanggil
kudanya dalam bahasa Peri: noro lim, noro lim, Asfaloth!
Serentak kuda putih itu
melompat maju dan berpacu seperti angin sepanjang sisa terakhir Jalan. Pada
saat bersamaan, kuda-kuda hitam berpacu menuruni bukit mengejarnya, dan dari
para Penunggang terdengar teriakan mengerikan, seperti yang terdengar oleh
Frodo memenuhi hutan di Wilayah Timur nun jauh di sana. Teriakan itu dijawab:
dengan ngeri Frodo dan teman-temannya melihat empat penunggang lain keluar dari
pohon-pohon dan batu-batu di sebelah kiri. Dua melaju ke arah Frodo, dua
lainnya berpacu kencang sekali menuju Ford, untuk memotong pelariannya.
Sepertinya mereka melaju pesat bagai angin, dengan cepat sosok mereka semakin
besar dan gelap, ketika lintasan mereka bertemu dengan lintasannya.
Sejenak Frodo menoleh ke belakang. Ia sudah tak bisa melihat teman-temannya lagi. Penunggang-Penunggang Hitam
mulai tertinggal: bahkan kuda-kuda besar mereka tak bisa menandingi kecepatan
kuda Peri putih milik Glorfindel. Ia melihat ke depan lagi, dan harapannya
memudar. Kelihatannya sebelum mencapai Ford jalannya akan dipotong oleh para
Penunggang lain yang sudah bersembunyi untuk menyergapnya. Ia bisa melihat mereka dengan jelas sekarang: rupanya mereka sudah melepaskan
kerudung dan mantel hitam mereka, sekarang mereka berjubah putih dan kelabu.
Pedang terhunus di tangan mereka yang pucat; topi baja di kepala mereka. Mata
mereka dingin berkilauan, dan mereka meneriakinya dengan suara-suara
menyeramkan.
Ketakutan memenuhi seluruh
benak Frodo. Ia tak ingat lagi pedangnya. Tak ada teriakan dari mulutnya. Ia memejamkan mata dan berpegangan erat pada rambut tengkuk kudanya. Angin
bersiul di telinganya, dan bel-bel pada tali kekang berbunyi liar dan nyaring.
Embusan angin dingin menusuknya bagai tombak ketika kuda Peri itu berpacu bagai
kilatan api putih, seolah bersayap, lewat tepat di depan Penunggang terdepan.
Frodo mendengar bunyi
cemplungan air.. Air berbuih di sekitar kakinya. Ia merasakan gerakan mengangkat dan menyentak cepat saat kudanya keluar dari
sungai dan berjuang mendaki jalan berbatu. Ia sedang
mendaki tebing terjal. Ia sudah di seberang Ford.
Tetapi para pengejar sudah
dekat sekali. Di atas tebing, kuda Frodo berhenti dan membalikkan badan sambil
meringkik galak. Ada Sembilan Penunggang di tepi air di bawah, dan semangat
Frodo merosot di depan wajah-wajah mereka yang menengadah mengancam• Rasanya
tak ada yang bisa mencegah mereka menyeberangi sungai semudah yang telah ia
lakukan; dan ia merasa sia-sia mencoba melarikan diri melintasi jalan panjang
dan tidak pasti dari Ford ke pinggir Rivendell, kalau para Penunggang itu sudah
menyeberang. Bagaimanapun, ia merasa diperintah dengan mendesak untuk berhenti.
Kebencian kembali bergejolak dalam dirinya, tapi ia sudah tak punya kekuatan
untuk menolaknya.
Tiba-tiba Penunggang
terdepan memacu kudanya maju. Kuda itu berhenti di batas air dan berdiri pada
kaki belakangnya. Dengan upaya keras Frodo duduk tegak dan mengacungkan
pedangnya.
"Kembali!"
teriaknya. "Kembalilah ke Negeri Mordor, dan jangan kejar aku lagi!"
Suaranya kedengaran tipis dan melengking di telinganya sendiri. Para Penunggang
itu berhenti, tapi Frodo tidak mempunyai kekuatan seperti Bombadil.
Musuh-musuhnya menertawakannya dengan bunyi tawa kasar dan mengerikan. "Ke
sini! Ke sini!" teriak mereka. "Kami akan membawamu ke Mordor!"
"Pergilah!"
bisik Frodo.
"Cincin!
Cincin!" teriak mereka dengan suara menyeramkan, dan serentak pemimpin
mereka menyuruh kudanya maju ke dalam air, diikuti dari dekat oleh dua
pengikutnya.
"Demi Elbereth dan
Luthien sang Putri Cantik," kata Frodo dengan upaya terakhir, sambil
mengangkat pedangnya, "kau tidak akan mendapatkan Cincin ataupun
diriku!"
Lalu pemimpin mereka, yang
sudah separuh menyeberangi Ford, berdiri mengancam di sanggurdinya, dan
mengangkat tangannya. Frodo merasa kelu. Lidahnya terpaku di mulutnya, dan
jantungnya berdebar kencang. Pedangnya patah dan jatuh dari tangannya yang
gemetar. Kuda Peri berdiri di kedua kaki belakangnya dan mendengus. Kuda hitam terdepan
sudah hampir menginjak tepi sungai.
Pada saat itu terdengar
geraman dan desiran: bunyi air deras menggulingkan banyak batu. Samar-samar
Frodo melihat sungai di bawahnya naik, dan dari alirannya muncul barisan
gelombang berbusa. Nyala putih tampak berkelip di puncak-puncaknya, dan ia
serasa melihat penunggang-penunggang putih -di atas kuda-kuda putih dengan
Surai berbuih di tengah air. Tiga Penunggang yang masih berada di tengah Ford
tenggelam: mereka lenyap, terkubur tiba-tiba di bawah buih yang menggelegak.
Mereka yang masih di belakang mundur dengan ngeri.
Dengan kesadarannya yang
mulai hilang, Frodo mendengar teriakan-teriakan, dan rasanya di belakang
Penunggang yang ragu-ragu di tepi sungai, ia melihat sebuah sosok bercahaya
putih yang menyala-nyala, dan di belakangnya berlarian sosok-sosok kabur kecil
melambaikan api, yang menyala merah di dalam kabut kelabu yang mulai menutupi
dunia.
Kuda-kuda hitam menggila,
dan sambil melompat maju dengan ketakutan mereka membawa penunggang mereka ke
dalam air bah yang mengganas. Teriakan tajam mereka tenggelam dalam raungan
sungai ketika mereka tersapu air. Lalu Frodo merasa dirinya jatuh, dan raungan
serta kebingungan itu seolah naik dan membenamkannya bersama musuh-musuhnya.
Setelah itu ia tak melihat dan mendengar apa-apa lagi.
0 komentar:
:ilovekaskus :iloveindonesia :kiss :maho
:najis :nosara :marah :berduka
:malu: :ngakak :repost: :repost2:
:sup2: :cendolbig :batabig :recsel
:takut :ngacir2: :shakehand2: :bingung
:cekpm :cd :hammer :peluk
:toast :hoax: :cystg :dp
:selamat :thumbup :2thumbup :angel
:matabelo :mewek: :request :babyboy:
:babyboy1: :babymaho :babyboy2: :babygirl
:sorry :kr: :travel :nohope
:kimpoi :ngacir: :ultah :salahkamar
:rate5 :cool :bola
by Pakto
:mewek2: :rate-5 :supermaho :4L4Y
:hoax2: :nyimak :hotrit :sungkem
:cektkp :hope :Pertamax :thxmomod
:laper :siul :2malu: :ngintip
:hny :cendolnya
by misterdarvus
:maintenis: :maintenis2: :soccer :devil
:kr2: :sunny
Posting Komentar